A. SINOPSIS
Pambudi
adalah seorang pemuda berusia 24 tahun yang tinggal di desa Tanggir, yakni
sebuah desa terpencil di daerah Bukit Cibalak. Ia bekerja sebagai pengelola
koperasi desa setempat. Namun, selang beberapa hari setelah pelantikan lurah
baru Desa Tanggir, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak
sepaham dengan lurah baru yang bernama Pak Dirga itu. Pak Dirga memiliki akal
yang licik dan kurang begitu dermawan terhadap warganya. Ia juga dikenal
sebagai pria yang memiliki banyak isteri. Ia terpilih menjadi lurah karena ia
dianggap lebih populer dan luwes ketimbang para pesaingnya.
Suatu
ketika, di kelurahan kedatangan seorang warga bernama Mbok Ralem. Ia berniat
meminjam uang di koperasi desa. Ia ingin mengobati benjolan yang menggembung di
lehernya hingga membuat nafasnya tercekat. Pambudi menyarankan untuk meminta
ijin Pak Dirga terlebih dahulu. Betapa kecewanya Mbok Ralem karena Pak Dirga
menolak memberi pinjaman. Bahkan kepada warga miskin seperti Mbok Ralem, Pak
Dirga pelit memberi bantuan. Padahal, Mbok Ralem benar-benar harus berobat. Ia
janda miskin yang tidak punya apa-apa. Kemana lagi ia harus minta tolong jika
pemimpinnya sendiri enggan menolongnya. Begitulah pikir Pambudi. Pambudi tahu
bahwa jumlah simpanan di lumbung koperasi yang diurusnya tidak akan terkuras
jika sedikit digunakan untuk pengobatan Mbok Ralem. Namun apa daya, pemimpinlah
yang berkuasa memberi keputusan.
Sejak
peristiwa itu, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak
pantas bekerja di tempat yang bertentangan dengan nuraninya. Hal yang ingin dilakukannya
yaitu menolong Mbok Ralem berobat. Hati nuraninya merasa iba melihat nasib Mbok
Ralem. Dengan uang tabungannya, Pambudi dan Mbok Ralem berangkat ke Yogya untuk
berobat. Setelah diperiksa dokter, hasil laboratorium menyatakan bahwa Mbok
Ralem terkena kanker. Pambudi terkejut dan semakin kasihan kepada Mbok Ralem.
Namun, ia tidak mengatakan apa-apa agar Mbok Ralem tidak memiliki beban
pikiran.
Pambudi
mencari cara untuk menghasilkan uang. Pengobatan kanker memerlukan biaya yang
banyak. Bahkan surat kemiskinan tidak bisa meluluhkan hati dokter untuk merawat
Mbok Ralem secara cuma-cuma. Pambudi pergi ke kantor penerbit Kalawarta, sebuah
harian lokal di Yogya, dan bertemu pemimpinnya yang bernama Pak Barkah. Ia
meminta bantuan kepada Pak Barkah untuk memasang iklan dompet sumbangan untuk
pengobatan kanker Mbok Ralem. Pak Barkah mengulurkan bantuannya dan bersedia
mencantumkan iklan tersebut dalam harian Kalawarta.
Setelah
kemunculan iklan tersebut, banyak donatur yang mengirim wesel ke kantor harian
Kalawarta. Bantuan dana berdatangan untuk membantu pengobatan kanker Mbok
Ralem. Mbok Ralem mendapatkan perawatan kelas satu di rumah sakit dan bisa
sembuh dari kanker yang menyerangnya. Pambudi mengajak Mbok Ralem ke kantor
harian Kalawarta untuk mengucapkan terima kasih kepada Pak Barkah dan
staf-stafnya. Pak Barkah juga mengucapkan terima kasih kepada Pambudi, sebab
atas peran aktif Pambudi menyelamatkan sesama dan ide cemerlangnya membuat iklan
di harian Kalawarta, kini kepercayaan masyarakat terhadap Kalawarta semakin
meningkat dan daya minat pembaca pun meningkat. Kalawarta semakin digandrungi
oleh warga lokal. Inilah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dan Pak
Barkah sangat mengapresiasi dan kagum terhadap sosok Pambudi.
Sekembalinya
ke Desa Tengger, nama Pambudi menjadi perbincangan di masyarakat. Banyak
masyarakat yang kagum terhadap usaha Pambudi menolong Mbok Ralem. Di sisi lain,
Pak Dirga merasa terhina oleh sikap Pambudi yang terkesan telah mencemarkan
nama baiknya sebagai lurah. Pak Dirga juga mendapat teguran dari Pak Camat dan
Bupati. Pak Dirga dicaci lantaran tidak bisa mengurus warganya dengan baik.
Gara-gara kelakuan Pak Dirga, Pambudilah yang mendapatkan kebanggaan dan nama
besar sebagai pahlawan, gelar populer yang seharusnya diterima oleh pemimpin
tetapi malah diterima oleh warga biasa seperti Pambudi. Hal itulah yang
menyebabkan Pak Dirga membenci Pambudi hingga ia tidak akan merasa puas jika
belum membalas dendam kepada Pambudi.
Upaya
balas dendam Pak Dirga kepada Pambudi telah dimulai. Pak Dirga menyebar isu
bahwa Pambudi berhenti dari pekerjaannya mengurus lumbung koperasi, lantaran
Pambudi telah menilap uang koperasi sebesar Rp. 120.000,- . Jumlah uang
tersebut sangat besar pada masa itu. Warga desa yang dulunya kagum dan bangga
kepada Pambudi, kini berbalik membencinya. Bahkan keluarga Pambudi juga dibenci
dan dikucilkan warga. Isu tersebut menjadi perbincangan hangat di masyarakat
hingga mengusik ketenangan orang tua Pambudi. Pambudi ingin menantang Pak Dirga
untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun, orang tuanya mencegahnya.
Orang tuanya tidak ingin Pambudi menghadapi banyak masalah. Sebab warga Tanggir
sangat patuh terhadap pemimpin. Begitulah adat yang mereka lestarikan hingga
sekarang. Ayah Pambudi menyarankan agar ia pergi dari Desa Tanggir. Ia menyuruh
Pambudi untuk mengalah dan menghindari masalah. Melihat beban batin yang
dialami orang tuanya, Pambudi hanya bisa menuruti nasihat mereka. Ia akhirnya
pergi meninggalkan desanya.
Pambudi
memutuskan pergi ke Yogya untuk tinggal bersama temannya bernama Topo di sebuah
kos-kosan kecil. Topo adalah mahasiswa yang kuliah di Yogya. Sewaktu SMP dan
SMA mereka berteman akrab. Setelah bercerita panjang lebar, Topo bisa memahami
masalah yang dihadapi Pambudi. Topo menyarankan agar Pambudi melanjutkan
kuliahnya di Yogya. Pambudi berpikir bahwa ide itu sangat gila. Namun, dorongan
Topo yang begitu kuat membuat Pambudi yakin untuk melanjutkan kuliah. Karena
ujian masuk perguruan tinggi masih lama, Pambudi bisa belajar dan mempersiapkan
diri untuk mengikuti tes tertulis. Di sela-sela persiapannya, ia juga bekerja
di sebuah toko arloji milik orang China. Di sana ia berkenalan dengan anak
majikannya yang bernama Mulyani yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 2
SMA. Mereka bersahabat dan sering mengisi waktu untuk bermain teka-teki
bersama.
Rupanya
Mulyani telah menaruh hati kepada Pambudi. Ia sangat pandai menutupi
perasaannya. Hubungan mereka berjalan hanya sebatas pertemanan. Setelah bekerja
di toko arloji beberapa bulan lamanya, Pambudi mengundurkan diri lantaran ia
telah diterima bekerja di harian Kalawarta oleh Pak Barkah. Ia juga telah
diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik. Mulyani sedih karena ia akan jarang
bertemu dengan Pambudi. Tapi ia hanya bisa memberi semangat dan dukungan
terhadap keputusan Pambudi. Tak lama lagi ia akan meneruskan kuliah di tempat
Pambudi kuliah dan mereka akan semakin sering bertemu. Begitulah pikiran
Mulyani yang begitu memendam perasaannya kepada Pambudi.
Pambudi
telah resmi menjadi jurnalis di harian Kalawarta. Ia membuat gebrakan baru dan
menyalurkan ide-ide cemerlangnya untuk mengangkat Kalawarta menjadi harian yang
lebih dikenal. Pak Barkah sangat memuji keahlian Pambudi. Tulisan-tulisan
Pambudi banyak diminati masyarakat. Pambudi juga sering menulis tentang Desa
Tanggir dan persoalan-persoalan yang dihadapi desa kecil itu. Tulisannya juga
menguak tentang ketidakadilan pemimpin desa itu. Tak jarang tulisan Pambudi
membuat garang pejabat setempat. Terutama Pak Dirga. Ia semakin tidak disenangi
oleh atasannya. Akhirnya, Pak Dirga diberhentikan dari jabatannya.
Setelah
sekian lama Pambudi mengasingkan diri di Yogya, ia kembali ke Desa Tanggir
untuk menjenguk orang tuanya. Ia berniat untuk mengabarkan berita kelulusannya
dan membuat orang tuanya bangga. Sampai di rumah, ia mendapat kabar duka bahwa
ayahnya telah meninggal. Hal yang disesalinya adalah ia belum sempat mengatakan
kepada ayahnya bahwa ia telah menjadi sarjana. Ia telah ikhlas dengan kepergian
ayahnya, karena baginya kematian merupakan hal yang sudah sewajarnya terjadi.
Di
pemakaman ayahnya, Pambudi bertemu dengan Sanis, gadis yang dulu amat sangat
dicintainya. Namun sayang, diusianya yang
baru menginjak 17 tahun, ia kini telah menjadi janda dari Pak Dirga.
Pambudi sudah tidak menyukai Sanis lagi. Mereka hanya saling menyapa dan
bertanya kabar.
Di
rumah, Pambudi dikejutkan dengan kedatangan Mulyani. Mulyani mengutarakan duka
citanya dan ia mengajak Pambudi pergi ke suatu tempat. Di tempat sepi, Mulyani
mengutarakan perasaanya kepada Pambudi. Ia merasa malu karena sebagai seorang
wanita ia tak seharusnya mengutarakan perasannya terlebih dulu. Namun, ia tidak
sabar menunggu pengakuan Pambudi. Sebenarnya, Pambudi sudah mulai menyukai
Mulyani sejak mereka sering bertemu. Pambudi tahu mereka berdua memiliki
perbedaan. Mulyani anak orang kaya sedangkan Pambudi hanya anak orang biasa
yang tinggal di desa kecil. Pambudi merasa tidak pantas untuk memiliki perasaan
kepada Mulyani. Mulyani terus meyakinkan Pambudi tentang kebenaran perasaan
mereka. Begitulah, hingga seterusnya mereka semakin sering bersama.
B. UNSUR INTRINSIK
1. Fakta Cerita
Alur
Alur yang
digunakan dalam novel di kaki Bukit
Cibalak adalah alur maju. Peristiwa yang terjadi diceritakan secara runtut.
Ceritanya dimulai dari pengenalan Desa Tanggir oleh tokoh, aktivitas masyarakat
sehari-hari, tradisi yang berkembang di masyarakat. Kemudian diikuti
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Desa Tanggir, pemilihan lurah baru, konflik
antara lurah dan salah seorang warganya yang mengakibatkan pengasingan. Cerita
berakhir dengan kebahagiaan pada tokoh utamanya yang menemukan cinta sejati
setelah mengalami konflik dan mengasingkan diri dari tanah kelahirannya.
·
Tahap Perkenalan
Pada tahap ini berisi sejumlah
informasi penting, misalnya pengenalan waktu dan tempat terjadinya peristiwa
yaitu di Desa Tanggir serta pengenalan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita.
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak,
tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Orang-orang yang biasa
memburuh dengan bajak, kemudian berganti pekerjaan.” (DKBC:1)
“Di halaman Balai Desa telah terkumpul
banyak sekali warga Desa Tanggir. Lurah baru akan dipilih hari itu, karena
lurah lama telah meletakkan jabatan. Seperti nenek moyangnya, orang Tanggir
masih berjiwa kawula. Falsafah hidupnya nrimo-pandum.”(DKCB:
4)
·
Tahap Pertikaian
Klimaks terjadi pada tahap ini.
Konflik yang dimunculkan yaitu antara lurah baru dan seorang warga yang bernama
Pambudi. Karena jalan pikiran Pambudi tidak sesuai dengan lurah baru, ia
mengundurkan diri dari pekerjaannya di kantor kelurahan. Hal inilah yang memicu
konflik antara keduanya. Pak lurah iri dengan penghargaan yang diterima Pambudi
atas keikhlasannya menolong Mbok Ralem untuk berobat. Sebelumnya pak Lurah
menolak untuk menolong Mbok Ralem, maka Pambudilah yang turun tangan dan
mendapat pujian, bahkan masuk pada kolom harian Kalawarta. Pak Lurah mendapat teguran dari atasannya karena tidak
bisa menangani warganya dengan baik. Hingga menimbulkan dendam pada diri pak
Lurah dan mengakibatkan Pambudi harus menjalani pengasingan karena
tuduhan-tuduhan palsu yang disebarkan pak Lurah.
“Pak Dirga melepaskan napas panjang
lalu menyandarkan diri ke belakang. Dipandangnya Pambudi lama-lama, tetapi
pemuda itu tenang saja. Bahkan di dalam hatinya, Pambudi merasa lega. Ia merasa
telah mengikuti suara hati nuraninya untuk tidak turut melakukan kecurangan
bersama Lurah Dirga.”
“Pak Dirga sebaliknya, kulit
mukanya terasa seperti di jerang di atas api. Panas, malu. Ia tidak berhasil
menundukkan Pambudi, padahal rencana yang dirahasiakan sudah terlanjur
diberitahukan kepada anak muda itu. Bagaimanapun ini berbahaya. Tetapi kepala
desa itu terpaksa juga harus menaruh hormat pada keteguhan sikap Pambudi. Dan
ia diam saja ketika Pambudi pamit dan pergi.” (DKBC:14)
·
Tahap Peleraian
Bagian ini menunjukkan akhir dari
cerita dalam novel tersebut. Tokoh utama, Pambudi mendapat keadilannya. Ia bisa
kembali ke desanya dan masyarakat mulai menaruh kepercayaan kembali padanya.
Sementara Lurah Dirga harus melepas jabatannya lantaran dinilai tidak bisa
menjadi kepala desa yang baik tetapi malah terjerat dalam banyak kasus.
“Untuk membereskan lurah Desa
Tanggir, Pak Camat akhirnya menemukan sebuah cara. Diam-diam ia menyuruh
seseorang untuk menyelenggarakan meja judi. dapat dipastikan Pak Dirga akan
muncul pada arena judi itu. Apalagi dengan bisik-bisik diberitakan, bahwa
perempuan cantik akan melayani meja judi itu. Pada malam kedua, Pak Dirga masuk
perangkap. Seorang jaksa menangkap basah Lurah Tanggir itu saat sedang mengocok
kartu. Memang, Siapapun tahu, bukan kali ini Pak Dirga Berjudi. Ia penjudi. Sekarang
ada alasan resmi untuk menjemur Pak Dirga di halaman kantor polisi. Langkah
pertama yang ditempuh Pak Camat telah berhasil menjatuhkan Lurah Tanggir. Sesudah
dijemur di halaman kantor polisi, beslit
Pak Dirga dicabut. Diharapkan semua orang akan berkata Lurah Tanggir di pecat gara-gara ia bermain judi. Bukan dengan
alasan lain apapun bunyinya.” (DKBC:93).
Tokoh dan Penokohan
·
Pambudi
Pambudi merupakan tokoh sentral protagonist
dalam cerita.
Wataknya yaitu:
Rendah hati, suka
menolong tanpa pamrih dan tidak sombong.
“Adalah pantas bila aku berbuat
sesuatu untuk menolong Mbok Ralem. Didengarkannya dengan sungguh-sungguh suara
hatinya sendiri. Kemudian datanglah tekadnya.”(DKBC:15)
“Apabila Pak Dirga bertanya
darimana kau mendapat uang jalan, katakana saja sanak family telah memberikan
bantuan padamu. Aku tidak ingin kau sebut-sebut, mengerti Mbok” (DKBC:16)
“Pak
Barkah mengakui, sudah lama ia tidak menemukan seorang muda dengan kepribadian
seperti Pambudi. Seorang yang bersedia menolong sesamanya tanpa balas jasa
apapun.”(DKBC:32)
“Pambudi tidak pernah mengatakan pernah bersekolah
selain di sekolah dasar.” (DKBC:66)
“Pak, saya tidak yakin pada
kemampuan saya sendiri dalam bidang jurnalistik. Apa mungkin seorang pelayan
toko tiba-tiba berubah menjadi jurnalis?” (DKBC:71)
Rajin
beribadah
“Hari
Jum’at siang, Pambudi mengenakan kain sarung baru. Ia hendak bersembahyang
jum’at di surau.” (DKBC:26)
“Setelah
bersembahyang di atas sehelai koran, Pambudi merebahkan diri untuk tidur.”
(DKBC:22)
“Selesai
sembahyang subuh, Pambudi bernyanyi-nyanyi kecil.” (DKBC:14)
Berjiwa
sosial
“Sebenarnya
Pambudi ingin menjadikan lumbung koperasi yang diurusnya sebagai tempat ia
membuktikan kecakapannya. Ia ingin membuat badan sosial itu sungguh-sungguh
merupakan sebuah koperasi, yang akan banyak faedahnya bagi segenap penduduk
Tanggir.”(DKBC:8)
“Sepantasnya Mbok Ralem
diperlakukan secara khusus. Ia sakit. Wajarlah bila ia diberi pinjaman sebesar
yang ia perlukan untuk biaya penyembuhan penyakitnya. Saya mengingatkan kepada
Bapak bahwa sepertiga keuntungan lumbung koperasi tersedia bagi
pengeluaran-pengeluaran darurat yang harus dipikul oleh desa seperti bencana
banjir, kebakaran, dan sebagainya. Bagaimana bila Mbok Ralem kita beri uang
berobat dari dana darurat itu”(DKBC:11)
Jujur
dan bertanggung jawab
“Di
dalam hatinya Pambudi merasa lega. Ia merasa telah menuruti suara nuraninya
untuk tidak turut melakukan kecurangan bersama Pak Dirga.” (DKBC:14)
Teguh
pendirian
“Pokoknya aku bertindak atas
keyakinan sendiri, keyakinan dengan dasar yang kuat:kebenaran. Memang aku tidak
mampu memaksakan agar kebenaran selalu menang. Namun, dengan sengaja tunduk
dengan kepalsuan sungguh memalukan.”(DKBC:55)
Pekerja
keras
“Kehidupan
yang rutin mulai dilakukan oleh Pambudi. Pagi-pagi menanak nasi dan merebus air
untuk berdua. Sesudah Topo berangkat ke kampus ia membuka-buka buku pelajaran
SMA yang didatangkan oleh sahabatnya. Dua bulan lamanya Pambudi bekerja keras.
Pambudi juga berusaha mendapatkan pekerjaan sementara. Pambudi bekerja di toko
arloji. Selain menjaga toko, ia juga harus menyapu, mengepel, dan mengantarkn
babu ke pasar.” (DKBC:62)
Penyabar
“Bagaimana dengan rencanaku untuk
meneruskan sekolah, bila aku direpotkan oleh urusan Lurah Tanggir dan si Poyo
itu. Biarlah. Aku harus diam. Masih ada mahkamah yang lebih tinggi. Tuhan
pribadi yang akan menjadi hakim.” (DKBC:69)
·
Lurah Dirga
Pak Dirga merupakan tokoh antagonis
dalam cerita.
Wataknya yaitu:
Luwes, penjudi,
beristeri banyak
“Calon
yang gagah itu bernama Dirgamulya. Ia luwes, pandai bermain bola, pandai
berjudi dan gemar berganti isteri.” (DKBC:7)
Korupsi
“Pak
lurah sering melanggar ketentuan ketentuan perkoperasian. Tidak jarang lurah
memberi perintah menjual padi lumbung koperasi tanpa melalui ketentuan yang dibenarkan.
Sebulan sesudah pengangkatannya, Pak Dirga memulai kecurangannya.” (DKBC:8)
Pelit
“Pokoknya
aku tak bisa memberi pinjaman sebesar yang ia perlukan. Apalagi dana darurat
yang kau maksud itu harus kita berikan cuma-cuma. Tidak mungkin.” (DKBC:11)
Pendendam
dan iri hati
“Pak
Dirga pasti sadar bahwa rahasianya turut dibawa keluar olehnya. Pada akhirnya
hal ini akan membawa akibat tidak baik. Di sebuah desa kecil seperti Tanggir,
orang akan merasa gelisah bila ternyata lurah membencinya.” (DKBC:14)
“Aku tidak
senang masalah Mbok Ralem tersebar sebagai berita yang hebat, menyebabkan aku
dan Pak Camat kena marah Bupati, menyebabkan Bupati ditegur Gubernur. Kau tahu
siapa yang telah membuat kekacauan ini. Akan ku uji kekuatan otaknya.” (DKBC:33)
Suka
memfitnah
“Tak ada pengeluaran yang tidak
dapat kita buktika kesahannya. Pengeluaran untuk biaya pelantikan bapak sebelas
bulan yang lalu sudah dihapuskan. Tetapi dalam buku yang kedua ada pengeluaran
atas tanggung jawab seseorang. Pambudi. Nanti pada saat yang tepat kita akan
mnyebarluaskan isinya. Semua warga Tanggir akan mencap Pambudi sebagai ‘kelilip
desa’.” (DKBC:34)
Licik
dan suka memanfaatkan orang lain
“Ayah
sanis sedang mengajukan permohonan kepada Bupati agar langgarnya dipugar dengan
biaya pemerintah. Tanpa aku, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi ia tak pantas
menolak bila anaknya kuminta dijadikan model olehmu. Riaslah Sanis secantik
mungkin. Apabila dalam perantaraan kita, Sanis dapat menjadi menantu Pak Camat,
untunglah kita.” (DKBC:47)
Tidak
sopan kepada orang tua dan tidak adil
“Beberapa
hari yang lalu ayah Pambudi pergi ke Balai Desa. Ia hendak meminta surat-surat
yang diperlukan untuk mengajukan permohonan kredit bimas. Orang tua itu
dibiarkan menunggu lama sekali, sedangkan Pak Dirga enak-enakan merokok bersama
Poyo. Ketika akhirnya lurah mau melayani ayah Pambudi, ia berkata dengan nada
yang amat menyakitkan. Kenapa sampeyan
minta surat keterangan kepadaku, dan bukan ke redaksi harian kalawarta di
Yogya” (DKBC:54)
·
Mbok Ralem
Watak Mbok Ralem yaitu:
Penyabar dan pantang
menyerah dan hidup sederhana
“Aku
ingin sembuh, Nak. Leherku makin lama makin tercekik rasanya.”
(DKBC:10)
“Tidak ada bilik-bilik dalam rumah Mbok Ralem.
Di susut bagian timur ada tungku dan tempayan. Beberapa perkakas dapur, cerek,
kuali, dan gayung di atas tungku itu. Barangkali tadi pagi Mbok Ralem
sekeluarga sarapan singkong bakar. Kulitnya berserakan di bawah satu-satunya
tempat tidur tanpa tikar di dalam rumah itu.” (DKBC:16)
“Mbok
Ralem keluar dengan pakaian aslinya, tidak bersandal. Bagaimanapun, ia tetap
nyaman dengan keasliannya.” (DKBC:29)
Penyayang
“Mas,
Ajeng. Saya teringat kepada anak-anak saya. Di sini saya makan serba enak dan
cukup. Saya yakin kedua anak saya terlantar bersama bibinya. Kalau boleh, saya
akan membawa pulang makanan itu untuk anak-anak saya.” (DKBC:28)
·
Sanis
Pemalu
“Sanis
berdebar dan hanya bisa menundukkan kepala.” (DKBC:49)
Matrelialistis
“Kau
tak tahu bahwa sejak kau memotretku dulu, aku tak dapat melupakanmu. Tapi, kau
malah mendorongku agar lebih dekat pada Pambudi. Apa yang hebat pada Pambudi
itu. Tidak sadarkah kau bahwa segala yang ada padamu lebih baik daripada
Pambudi.” (DKBC:79)
·
Mulyani
Pendiam dan acuh
“Mulyani
lebih suka duduk diam menekuni teka teki silang yang dimuat di Koran atau
majalah. Suatu ketika ia terlihat gelisah karena tidak bisa menjawab seluruh
pertanyaan. Mulyani putus asa dan meninggalkan majalah itu.”(DKBC:64)
Manja
dan suka merajuk
“Secara
samar Pambudi telah mengetahui adat Mulyani yang selalu merajuk bila kehendaknya
tidak dituruti.” (DKBC:65)
Egois
dan agresif
“Aku benci, benci pada orang yang
tidak bisa menghargai perasaan. Persahabatan harus juga dihiasi dengan
perasaan. Kukira kau tak mempunyai cukup perasaan.”(DKBC:67)
·
Pak Barkah
Antusias dan penuh perhatian
“Sikapnya
berubah menjadi penuh perhatian setelah Pambudi menerangkan maksudnya dengan
jelas. Uraian Pambudi selalu ditanggapi dengan anggukan kepala. Bahkan ia masih
mengangguk-angguk meskipun Pambudi telah selesai menerangkan semuanya. Baiklah, saya akan susun naskah iklan itu” (DKBC:20)
·
Topo
Optimistis
“Sudah
kukatakan aku lebih miskin darimu. Ternyata aku bisa mencapai tingkat
pendidikan hingga sekarang. Aku yakin, kaupun akan bisa memperoleh apa yang
telah kudapat.” (DKBC:61)
·
Bambang
Bijaksana
“Bambang
pulang. Ia tidak merasa kecewa atas sikap yang ditunjukkan oleh kedua orang tua
Pambudi. Sebaliknya Bambang dapat memahami mengapa mereka begitu menghawatirkan
nasib anaknya.” (DKBC:77)
Latar
·
Latar waktu
Waktu yang dilukiskan dalam novel
yaitu pada masa transisi dari zaman tradisional ke zaman modern.
“Pagi hari pada musim tanam ladang. Tegalan yang
telah tercangkul dan berbongkah-bongkah kering, tersiram hujan. Srigunting
telah lama punah dari wilayah Bukit Cibalak. Induk ditangkapi dimasukkan ke
dalam kotak-kotak kaca sebagai pajangan. Di desa Tanggir, kicau burung telah
diganti dengan suara mobil dan motor, kaset dan radio, atau diesel penggerak
gilingan padi.” (DKBC:3)
Suasana tersebut menunjukkan musim tanam telah tiba.
Tanaman yang ditanam adalah jenis palawija digambarkan dengan tanah kering yang
baru dicangkul dan tersiram oleh hujan. Masa itu juga menunjukkan proses menuju
masa modern dibuktikan dengan banyaknya barang-barang modern yang ada di Desa
Tanggir seperti mobil, motor, mesin penunjang pertanian, alat komunikasi
elektronik, dan lain sebagainya. Selain itu, karena keserakahan manusia akan
materi, jumlah spesies binatang menurun. Hal ini juga menggambarkan bahwa
globalisasi telah memasuki daerah tersebut.
·
Latar tempat
Desa
Tanggir, Bukit Cibalak
“Di
sekitar kaki Bukit Cibalak tenaga kerbau telah digantikan traktor. Burung
kucica terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit
Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya.” (DKBC:1)
Yogya
“Seminggu
kemudian, Pambudi sudah berada di Yogya.” (DKBC:57)
·
Latar suasana
Suasana peralihan ke masa modern
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak
tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan.”(DKBC:1)
“Di desa Tanggir, kicau burung
telah diganti dengan suara mobil dan motor, kaset dan radio, atau diesel
penggerak gilingan padi.”(DKBC:3)
2.
Sarana Cerita
Judul
Judul novel
tersebut yaitu Di Kaki Bukit Cibalak.
Alasan pemilihan judul tersebut bisa jadi karena latar dalam novel berada di
kaki Bukit Cibalak yaitu Desa Tanggir. Penulis ingin menceritakan peristiwa
yang terjadi di Desa Tanggir mulai dari keseharian masyarakat, tradisi yang
dianut, kehidupan sosial, dan sistem kepemimpinan di desa itu. Karena itulah,
penulis memberi judul Di Kaki Bukit Cibalak.
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak tenaga
kerbau telah digantikan traktor. Burung kucica terpaksa hijrah ke semak-semak
kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya.”
(DKBC:1)
Sudut
Pandang
Sudut
pandang dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak
yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu. Penulis bukan sebagai orang
pertama melainkan sebagai orang ketiga mahatahu yang dapat menceritakan segala
sesuatu tentang tokoh Pambudi, Pak Dirga, Mbok Ralem dan lain-lain serta mampu
menceritakan segala peristiwa yang berlaku dalam cerita.
Gaya
dan Nada
Gaya
bahasa yang digunakan pengarang dalam novel tersebut terlihat pada kemampuannya
menerangkan proses terjadinya bukit Cibalak menggunakan bahasa ilmiah. Hal ini
mencerminkan bahwa pengarang memiliki riwayat pendidikan yang tinggi atau ia
memang gemar membaca buku-buku pengetahuan
“Daya pikir manusia dapat membuktikan
bahwa dulu bukit itu adalah lapisan kerak bumi yang berada di dasar laut. Alam
yang perkasa, dengan kekuatan tektonis mengangkat lapisan kerak bumi ke atas
permukaan laut dan lebih tinggi lagi. Sisa-sisa koloni binatang karang yang
dulu hidup subur di bawah air laut, memberi bahan dasar bagi terbentuknya
lapisan kapur yang mewarnai Cibalak. Setelah melewati masa berjuta-juta tahun,
datanglah lumut kerak. Hutan pakis yang menutupi Cibalak beribu-ribu abad
lamanya meninggalkan lapisan humus yang tebal, tempat tanaman yang lebih tinggi
tingkatannya menancapkan akar.” (DKBC:38)
Pengarang
menyajikan perwatakan tokoh melalui kalimat-kalimat tersirat yang melatih
pembaca untuk menganalisis watak masing-masing tokoh. Bahasa yang digunakan
sangat mudah dipahami apalagi yang berhubungan dengan percakapan antar tokoh,
bahasanya dikemas sesuai dengan bahasa yang berkembang dan digunakan masyarakat
pada masa modern.
Pengambaran
suasana alam menggunakan bahasa yang sangat puitis sehingga menimbulkan kesan
bahwa Bukit Cibalak merupakan kawasan yang asri tenteram dan makmur.
“Dulu, jalan setapak itu adalah
terowongan yang menembus belukar
puyengan. Bila iring-iringan kerbau lewat, tubuh mereka tenggelam di bawah terowongan semak itu. Hanya bunyi korakan yang
tergantung pada leher mereka. Mereka tetap tidak mengerti mengapa kerbau-kerbau
senang mengusik ketentraman belukar
puyengan. Burung-burung kucica yang telah turun temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang. Bekas telapak kerbau yang mengukir jalan-jalan setapak telah terhapus oleh gilasan roda-roda sepeda. Dari sebuah lorong setapak yang sempit
kini terciptalah jalan kampung yang agak lebar.” (DKBC:1-2)
3.
Tema Cerita
Tema yang
diangkat dalam novel tersebut yaitu perseteruan antara seorang pemuda Tanggir
bernama Pambudi dengan Lurah desa setempat. Konflik tersebut bermula karena
mereka berdua tidak memiliki pandangan yang sama dalam menyikapi persoalan yang
muncul di desa mereka. Pambudi memiliki jiwa sosial yang tinggi sedangkan Pak
Lurah tidak ringan tangan terhadap warganya. Ketika Pambudi mendapat pujian
atas jasanya menolong salah seorang warga yang menderita kanker, Pak Lurah
merasa iri dan dendam. Pambudi harus dikucilkan dari desanya sendiri lantaran
tuduhan palsu yang disebarkan oleh Pak Lurah kepada warga setempat. Pambudi
yang berjiwa penyabar dan rendah hati akhirnya mendapat keadilannya dan Pak
Lurah mendapat hukuman atas ketidakbecusannya menjadi kepala desa.
C. UNSUR EKSTRINSIK
Biografi
Pengarang
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas,
Jawa Tengah,
13 Juni
1948;
umur 64 tahun) adalah sastrawan Indonesia.
Ia menamatkan SMA
di Purwokerto.
Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu
Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta
(1967-1970),
Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto
(1974-1975),
dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman
(1975-1976).
Kaitan penulis terhadap karyanya
dapat kita amati melalui adat atau tradisi yang diciptakan dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak yang berhubungan
dengan tradisi Jawa. Hal ini bisa dihubungkan dengan asal penulis yang lahir di
tanah Jawa sehingga penulis terinspirasi untuk membuat novel dengan
menghubung-hubungkan tradisi yang masih berkembang pada masyarakat Jawa.
Dalam novel tersebut juga diselimuti
unsur politik. Bisa jadi, si penulis pada zamannya sedang giat mengkritisi
politik di Indonesia, didukung dengan riwayat pendidikannya yang pernah belajar
di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Melalui karyanya bisa disimpulkan bahwa ia
sangat menaruh perhatian terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat.
Karyanya tidak hanya sekadar rekaan belaka, tetapi juga mengandung unsur
tatanan kehidupan yang berkembang di masyarakat yang bisa menjadi renungan bagi
pembaca.
Kehidupan
Sosial
“Para pemilik kerbau di
sekitar kaki Bukit Cibalak tidak menggembalakan ternak mereka. Binatang itu
bebas berkeliaran mencari rumput. Seringkali kerbau itu tidak pulang ke kandang
alias tidur di hutan.” (DKBC:1)
Para warga yang tinggal
di kawasan Bukit Cibalak digambarkan sebagai penggembala. Seperti kebanyakan
penggembala lainnya, mereka tidak selalu memerhatikan gembalaannya. Binatang
gembala itu berkeliaran bebas dan akan kembali ke kandang ketika sudah waktunya.
Biasanya menjelang senja, binatang ternak itu akan kembali ke kandangnya.
Kehidupan sosial seperti itu mirip dengan kehidupan yang masih berkembang di
desa pada masa sekarang. Masyarakat desa masih ada yang menjadi penggembala
atau peternak, seperti kambing dan ayam. Binatang-binatang tersebut juga
dibiarkan bebas berkeliaran untuk mencari makan di alam. Sampai waktu senja,
binatang jinak itu akan kembali ke kandangnya. Suasana pedesaan sangat terasa
dalam imajinasi penulis.
“Di sekitar kaki Bukit
Cibalak tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Orang-orang yang
biasa memburuh pekerjaan kemudian berganti pekerjaan. Misalnya Pak Danu yang
menjadi tukang timbang ampas singkong. Dua orang anak gadis Pak Danu dibawa
makelar, menjadi babu di Jakarta.” (DKBC:1)
Peralatan tradisional
masyarakat perlahan-lahan telah berganti menjadi peralatan modern. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar Bukit Cibalak sedang mengalami masa
transisi dari masyarakat tradisional ke masa modern atau berada pada masa pra
modern. Alat bajak tradisional seperti kerbau telah digantikan traktor yang
berupa tenaga mesin. Menunjukkan masyarakat telah terbuka menerima kemajuan
teknologi untuk meningkatkan efektifitas kerja. Proses urbanisasi juga sudah
dikenal oleh masyarakat sebagai contoh anaknya Pak Danu yang merantau ke
Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga.
“Pagi-pagi mereka ke
pasar membawa apa-apa untuk dijual disana. Biasanya mereka menjual akar kayu
jati yang mereka gali dari lereng-lereng Bukit Cibalak. Pulang dari pasar
orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu membawa keperluan hidup mereka.”
(DKBC:2)
Masyarakat desa
digambarkan seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Orang-orang dari desa
biasanya menjual hasil pertaniannya ke pasar ketika masih fajar sehabis subuh
karena pada saat seperti itu banyak tengkulak yang datang. Barang yang dijual
berupa sayur-sayuran seperti labu, timun suri, kangkung, mentimun, terong, dan
sebagainya. Masyarakat Cibalak pun demikian. Bedanya mereka menjual kayu jati karena
komoditi yang dihasilkan daerah itu adalah kayu jati. Pulang dari pasar mereka
akan membawa oleh-oleh untuk anak-anaknya berupa jajanan pasar. Atau hanya
membeli kebutuhan pokok untuk dimasak. Ini sangat mirip dengan penggambaran
masyarakat desa. Nampaknya, penulis ingin menggambarkan tata kehidupan penduduk
Cibalak ketika memenuhi kebutuhan hidup yang diceritakan sesuai dengan
kehidupan masyarakat desa pada umumnya untuk menimbulkan kesan alami pada
novelnya.
Tatanan
Politik
“Ayah Sanis tidak
memiliki tanah sedikitpun, kecuali sedikit tanah bengkok yang ia terima sebagai
gaji seorang modin. Tugas ayah Sanis adalah segala sesuatu yang menyangkut
upacara keagamaan dan menjaga surau di desa itu.” (DKBC:3)
Dalam lingkungan
pedesaan, kita mengenal istilah modin. Dalam novel juga dijelaskan tugas modin
yaitu mengurusi masalah keagamaan. Biasanya modin bertugas di KUA yang
mengurusi masalah pernikahan dan kematian. Sebagai petugas desa, modin tidak
digaji dengan uang, tapi ia diberi sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Begitulah sistem pemerintahan yang dijalankan di desa.
“Di halaman Balai Desa
telah berkumpul banyak sekali warga Desa Tanggir. Lurah baru akan dipilih hari
itu karena lurah lama telah meletakkan jabatan. Sebab sebenarnya adalah perselisihan
yang terjadi antara lurah dengan seorang warga Tanggir yang ternyata saudara
dekat Bupati.” (DKBC:4)
Warga Tanggir sudah
mengenal adanya pemilihan pemimpin, berarti masyarakat tersebut tidak
digambarkan sebagai masyarakat yang terbelakang tetapi sebagai masyarakat yang
maju. Dan sistem pemilihannya pun melalui pemilu. Berarti peristiwa tersebut
berlangsung pada era reformasi. Kisruh politik juga terjadi antara para pejabat
desa. Masalah yang sering muncul dalam perpolitikan di Indonesia. Isu nepotisme
juga diperlihatkan, misalnya konflik lurah dengan warganya yang berakibat lurah
harus diberhentikan jabatannya karena warga tersebut adalah kerabat bupati. Hal
ini menunjukkan betapa kekuasaan memiliki kedudukan tertinggi.
“Di pagi itu baik
mereka yang keturunan kawula maupun yang mengaku keturunan kerabat ningrat
sudah berkumpul di halaman Balai Desa. Banyak orang yang akan memberikan suara
kepada calon yang disukainya dengan ikhlas. Tetapi banyak juga yang bersedia
menjual suaranya dengan berbagai cara yang dirahasiakan.”
“Toh hanya sehari ini
kita mempunyai harga. Besok, seorang yang terpilih akan berubah sikap dari
ramah tamah terhadap semua orang menjadi acuh tak acuh kepada siapapun. Tadi
malam, semua jago menjamu kita sekenyang-kenyangnya. Jangan harap besok pagi
kita akan dipersilakan duduk kalau kita bertamu ke rumahnya.
Percayalah.”(DKBC:5)
Masyarakat sangat
antusias mengikuti pemilu meskipun memiliki latar belakang alasan yang berbeda.
Ada yang ikhlas memberikan suaranya dan ada pula yang memberikan suara karena
sogokan. Sebagian warga berpikiran bahwa siapapun lurah yang terpilih, toh
dalam perjalanannya memimpin desa sama saja melakukan kecurangan.pemikiran
tersebut juga masih berkembang di masyarakat desa. Mereka menerima sogokan
karena mereka sudah tidak lagi percaya dengan pemimpin yang benar-benar jujur.
Memang, awalnya para calon pemimpin memberi janji yang muluk-muluk, mendekatkan
diri kepada rakyat dengan memberi segala macam bantuan agar menarik dukungan
mereka. Tapi setelah jadi pemimpin, suara rakyat tidak dihargai lagi. Itulah
sistem politik yang terjadi di Indonesia. Suara rakyat bisa dibeli dengan
materi. Bukan rakyat tidak memiliki kesadaran, tetapi kejujuran sulit dirasakan
oleh masyarakat.
“Tiba-tiba perhatian
semua orang tertuju pada seorang kakek yang sedang membaca mantra. Tentu ia
telah dibayar oleh seorang calon. Kemudian si kakek dituntun keluar oleh
seorang hansip.”
“Tiap-tiap calon
mempunyai beberapa orang botoh yang mempunyai tugas sebagai pengumpul suara.
Soal cara, tidak diperhatikan benar. Mereka mau bekerja dengan satu tujuan,
uang.” (DKBC:6)
Umumnya, ketika
seseorang mencalonkan diri sebagai pemimpin ia akan melakukan berbagai cara
untuk mensukseskan rencananya. Ia membayar juru kampanye untuk mencari
pendukung. Cara yang lain yaitu melalui perantara dukun. Tak jarang, para calon
mendatangi dukun untuk menyingkirkan lawan mereka. Mereka rela kehilangan uang
banyak untuk menduduki kursi jabatan. Lalu, apakah mereka benar-benar bisa
jujur dalam memimpin ketika sudah kehilangan banyak uang untuk keperluan
kampanye dan tetek bengek pencalonannya.
“Kelima orang calon
yang hendak dipilih pagi itu telah mengeluarkan uang banyak sekali, dari uang
pendaftaran, uang ujian, sampai kepada uang yang harus dikeluarkan untuk para
botoh dan dukun. Tetapi yang paling besar biayanya adalah untuk perjamuan.
Setiap calon berusaha menjamu seluruh warga Desa Tanggir dengan makan minum
yang hamper tanpa batas. Biaya yang besar itu akan mengakibatkan menyulitkan
calon yang menang, apalagi yang kalah. Jadi ada benarnya bila seseorang
mengatakan bahwa tugas pertama seorang lurah baru adalah menata kembali
perekonomian rumah tangganya. Kecurangan para lurah biasanya bermula dari titik
ini.” (DKBC:7)
Sistem politik di
Indonesia masih jauh dari kata jujur. Besarnya biaya pencalonan sebagai
pemimpin menjadi alasan para penguasa untuk korupsi. Mereka telah kehilangan
uang banyak untuk pencalonan, mereka akan berpikir tidak ada salahnya jika
menikmati gaji lebih. Hal itu juga telah menjadi rahasia umum. Masyarakat tidak
bisa berbuat apa-apa jika pemimpin mereka berbuat sekehendak hati.
Tradisi dan Pandangan
Hidup
“Seperti nenek
moyangnya, orang Tanggir masih berjiwa kawula. Falsafah hidupnya nrimo-pandum.”(DKBC:4)
Tradisi masyarakat
Tanggir yaitu sangat menjunjung warisan nenek moyangnya. Mereka berjiwa kawula
yaitu menerima apapun yang terjadi. Meskipun telah menuju masa modern, namun
masyarakatnya tetap berjiwa tradisional dan tetap menghormati leluhur.
“Sebelum para juru rias
mengenal cat, sinoman dilukis dengan getah papaya yang dicampur jelaga.
Terdapat kepercayaan yang aneh. Apabila ternyata lukisan sinoman itu meleleh
pada saat pengantin bersanding di pelaminan, menjadi pertanda yang buruk.
Pengantin telah kehilangan kegadisannya.” (DKBC:50)
Pada masyarakat Jawa,
adat merias pengantin biasanya menggunakan riasan sinoman. Dan kepercayaannya
apabila sinoman mencair, mempelai wanita dianggap tidak lagi perawan.
Sebenarnya masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan yang mirip dengan
penceritaan dalam novel. Hendaknya kepercayaan yang hanya asumsi masyarakat
tidak dilebih-lebihkan karena tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Dalam novel penulis menjelaskan bahwa ada
alasan lain mengapa sinoman meleleh hal itu lantaran mempelai terlalu
mengeluarkan banyak keringat atau tegang saat menghadapi peristiwa pertama yang
dialaminya.
“Orang-orang di sini
percaya bahwa seseorang tidak mungkin menjadi lurah kalau ia tidak dijatuhi
wahyu cakraningrat. Keyakinan itu diperkuat oleh kenyataan kenapa Pak Dirga
yang terpilih tahun yang lalu, bukan Pak Badi yang terkenal memiliki keluhuran
budi. Jadi dengan keyakinan semacam itu para penduduk akan tetap menjunjung
tinggi lurahnya, meskipun lurahnya itu selalu bertindak menurut kemauannya
sendiri dan merugikan penduduk.” (DKBC:55)
Kepercayaan yang
dipegang teguh oleh masyarakat Cibalak bahwa mereka sangat mempercayai pemimpin
mereka. Meskipun kelakuan buruk si pemimpin telah menjadi rahasia umum, namun
mereka tetap menganggap seseorang yang telah menjadi pemimpin itu adalah orang
yang benar-benar terpercaya dan sudah ditakdirkan menjadi pemimpin. Jadi setiap
perbuatan dan keputusannya tidak dapat dilawan dan diganggu gugat. Berbeda jauh
dengan masyrakat Indonesia yang sudah tidak memiliki kepercayaan terhadap
pemimpinnya. Sehingga apapun yang diperbuat si pemimpin selalu dianggap salah.
Pemimpin sendiri membutuhkan kepercayaan penuh terhadap masyrakat. Tentu ia
lebih mengetahui resiko yang akan dihadapi dan ia tak mungkin lepas tangan
tetapi juga turut menanggungnya. Namun, sebelum pemimpin itu bersuara,
masyarakat sudah menanggapi dengan sinis dan tidak menunjukkan dukungan sepenuh
hati. Mungkin inilah yang membuat pemimpin merasa serba salah dan merasa tidak
dihormati hingga ia bersikap sesuka hatinya.
Kepercayaan
“Hari Anggara Kasih
adalah sebutan mistik bagi hari Selasa Kliwon. Senin malamnya dianggap sebagai
saat yang baik untuk memasang sesaji atau guna-guna. Orang yang hendak memasang
guna-guna atau melakukan maksud jahat lainnya pun menganggap Hari Anggara Kasih
sebagai saat yang baik.” (DKBC:34)
Warga Cibalak
digambarkan sebagai warga yang menganut adat Jawa yang masih percaya dengan
takhayul dan kekuatan mistik. Mereka masih melestarikan warisan leluhur
meskipun kemajuan zaman sudah mengambil alih tatanan kehidupan mereka. Sangat
lekat sekali dengan sifat orang Jawa pada umumnya, bahwa biarpun zaman telah
berubah namun tradisi tetaplah tradisi yang harus dijaga dan diwariskan secara
turun temurun untuk keselamatan hidup. Contoh yang berkaitan dengan kepercayaan
terhadap hari-hari tertentu yaitu orang Jawa sangat memperhitungkan tanggal dan
bulan saat mengunduh mantu atau saat mengadakan acara tertentu. Hari yang baik
akan membawa kebaikan pula. Ada pula hari yang dianggap keramat, misalnya bila
anak lahir pada malam selasa kliwon akan menjadi anak yang menyusahkan orang
tua, atau pada bulan Dzulkaedah tidak boleh mengunduh mantu. Begitulah
kepercayaan yang masih mereka anut sampai sekarang.
“Kalau sampean dapat
memenuhi syarat-syaratnya, aku jamin keinginan sampeyan akan terlaksana.
Pertama, usahakan kembang yang kubungkus kain mori ini terlangkahi oleh
Pambudi. Kedua, sampeyan harus mengambil segenggam tanah kuburan. Cabutlah
sebuah nisan, kemudian masukkan tangan ke dalam lubang bekas nisan itu. Ambil
tanah segenggam dari dasar lubang. Lalu taburkan ke atas genting tempat tidur
Pambudi.” (DKBC:37)
Penggambaran watak
seseorang yang masih percaya dengan perdukunan. Semua hajat yang ingin dicapai,
ia pasrahkan melalui perantara dukun. Dukun dianggap bisa menyelesaikan permasalahannya
dengan cepat. Dalam berbagai permasalahan kehidupan seperti jabatan, jodoh,
konflik dengan lawan, ia adukan kepada dukun untuk diselesaikan. Peristiwa ini
mungkin masih terjadi pada masyarakat Indonesia. Untuk memikat hati seseorang,
mereka pergi ke dukun meminta susuk atau apapun untuk menambah kharisma mereka.
Dalam pekerjaan, mereka meminta jimat untuk mendapat kepercayaan atasan agar
naik jabatan atau untuk melanggengkan kekuasaan. Inilah gambaran keserakahan
manusia yang tidak lagi berpedoman pada nilai-nilai agama sehingga dalam hidup
mereka hanya diselimuti rasa iri dan saling membenci untuk mendapatkan posisi
paling menguntungkan.
Nilai
Pendidikan
“Daya pikir manusia
dapat membuktikan bahwa dulu bukit itu adalah lapisan kerak bumi yang berada di
dasar laut. Alam yang perkasa, dengan kekuatan tektonis mengangkat lapisan
kerak bumi ke atas permukaan laut dan lebih tinggi lagi. Sisa-sisa koloni
binatang karang yang dulu hidup subur di bawah air laut, memberi bahan dasar
bagi terbentuknya lapisan kapur yang mewarnai Cibalak. Setelah melewati masa
berjuta-juta tahun, datanglah lumut kerak. Hutan pakis yang menutupi Cibalak
beribu-ribu abad lamanya meninggalkan lapisan humus yang tebal, tempat tanaman
yang lebih tinggi tingkatannya menancapkan akar.” (DKBC:38)
Kutipan tersebut
mengandung nilai pendidikan karena menjelaskan pengetahuan tentang perubahan
lapisan bumi, terbentuknya bukit, dan tumbuhnya tanaman-tanaman dikawasan yang
tak berpenghuni selama beribu-ribu abad lamanya. Bisa jadi pengarang pernah
menempuh pendidikan dibidang Geologi sehingga ia paham tentang proses-proses
alami yang terjadi di bumi. Atau pengarang memang rajin membaca referensi
tentang berbagai macam buku.
Nilai
Agama
Tanpa berniat
memunculkan isu sara, dapat disimpulkan bahwa novel ini lebih condong dalam
ajaran-ajaran islam. Terkait dengan penulis sendiri yang merupakan seorang
muslim. Penulis melukiskan tokoh utama sebagai orang yang taat beribadah.
Selain itu kepercayaan dinamisme juga masih berkembang dalam masyarakat
Cibalak.
“Setelah bersembahyang
di atas sehelai koran, Pambudi merebahkan diri untuk tidur.” (DKBC:22)
“Selesai sembahyang
subuh, Pambudi bernyanyi-nyanyi kecil.(DKBC:14)
“Kalau sampean dapat
memenuhi syarat-syaratnya, aku jamin keinginan sampeyan akan terlaksana.
Pertama, usahakan kembang yang kubungkus kain mori ini terlangkahi oleh
Pambudi. Kedua, sampeyan harus mengambil segenggam tanah kuburan. Cabutlah
sebuah nisan, kemudian masukkan tangan ke dalam lubang bekas nisan itu. Ambil
tanah segenggam dari dasar lubang. Lalu taburkan ke atas genting tempat tidur
Pambudi.” (DKBC:37)
D. ASPEK PRAGMATIK
Unsur
Moral
Pesan moral yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca bahwa sebagai pemimpin kita harus
berlaku adil kepada warga dan selau ringan tangan terhadap warga yang
membutuhkan pertolongan. Jangan bersikap baik ketika diawasi atasan. Ketika
menjadi pemimpin harus bersikap jujur dan bertanggung jawab, tidak
menyelewengkan kekuasaan seperti melakukan tidak korupsi dan tindakan amoral
lainnya. Pemimpin adalah panutan, alangkah baiknya jika pemimpin itu memiliki
akhlak yang baik dan luhur.
“Kelima orang calon
yang hendak dipilih pagi itu telah mengeluarkan uang banyak sekali, dari uang
pendaftaran, uang ujian, sampai kepada uang yang harus dikeluarkan untuk para
botoh dan dukun. Tetapi yang paling besar biayanya adalah untuk perjamuan.
Setiap calon berusaha menjamu seluruh warga Desa Tanggir dengan makan minum
yang hamper tanpa batas. Biaya yang besar itu akan mengakibatkan menyulitkan
calon yang menang, apalagi yang kalah. Jadi ada benarnya bila seseorang
mengatakan bahwa tugas pertama seorang lurah baru adalah menata kembali
perekonomian rumah tangganya. Kecurangan para lurah biasanya bermula dari titik
ini.”(DKBC:7)
Unsur
Politik
Seseorang yang
berkeinginan terjun ke dunia politik harus memiliki cara-strategi yang baik dan
tidak menggunakan cara-cara curang untuk menduduki suatu jabatan atau
melanggengkan kekuasaan. Sistem politik di Indonesia masih jauh dari kata
bersih. Bahkan money politic masih
sering ditemukan di masyarakat saat menjelang pemilu.
“Banyak
orang yang akan memberikan suara kepada calon yang disukainya dengan ikhlas.
Tetapi banyak juga yang bersedia menjual suaranya dengan berbagai cara yang
dirahasiakan.”
Toh
hanya sehari ini kita mempunyai harga. Besok, seorang yang terpilih akan
berubah sikap dari ramah tamah terhadap semua orang menjadi acuh tak acuh
kepada siapapun. Tadi malam, semua jago menjamu kita sekenyang-kenyangnya.
Jangan harap besok pagi kita akan dipersilakan duduk kalau kita bertamu ke
rumahnya. Percayalah (DKBC:5)
Unsur
Agama
Pengarang menggambarkan
watak tokoh Pambudi yang rajin beribadah dengan harapan pembaca akan meniru
perilaku tokoh. Ibadah adalah hal yang wajib dikerjakan bagi setiap umat
beragama. Dalam keadaan bahagia, susah, melarat, banyak masalah dan keadaan
apapun kita harus tetap ingat kepada sang pencipta.
”Selesai sembahyang subuh, Pambudi
bernyanyi-nyanyi kecil.” (DKBC:14)
“Setelah bersembahyang di atas sehelai
koran, Pambudi merebahkan diri untuk tidur.” (DKBC:22)
”Hari Jum’at siang, Pambudi mengenakan
kain sarung baru. Ia hendak bersembahyang jum’at di surau.” (DKBC:26)
Unsur
Pendidikan
Aspek
pendidikan terlihat pada semangat tokoh untuk melanjutkan kuliah karena
dukungan temannya. Meskipun ia merasa sudah tua, namun tidak ada kata terlambat
untuk belajar. Bahkan ia terpacu semangatnya untuk bisa masuk jurusan yang
bergengsi. Ia giat belajar untuk persiapan ujian seleksi masuk perguruan
tinggi. Semangat tokoh dalam menempuh pendidikan patut ditiru. Banyak diantara
kita yang menyepelekan pendidikan dan bahkan banyak yang tidak sekolah karena
tidak mampu. Keterbatasan materi bukanlah menjadi penghalang utama untuk meraih
cita-cita. Jadi selama masih muda, kita harus menuntut ilmu setinggi-tingginya.
“Masuk
kampus! Aku tidak ragu sedikitpun untuk berkata, bahwa apa yang layak kau
lakukan sekarang ini adalah bersekolahh lagi.”(DKBC:59)
“Sulit juga memahami pelajaran yang
telah lama membeku di otaknya. Bahkan hanya dengan susah payah, atas bantuan
Topo, Pambudi dapat mengingat kembali kaidah-kaidah bahasa Inggris. Dua bulan
lamanya Pambudi bekerja keras. Kemudian ia mampu menyelesaikan soal-soal ilmu
pasti dan ilmu kimia yang ringan-ringan. Diskusi kecil yang dilakukan bersama
Topo membantu Pambudi menghafal kembali pelajaran ilmu sosial.
ceramic vs titanium
BalasHapusTagged with copper. Tagged with titanium. Tagged with titanium element copper. Tagged with titanium nitride coating service near me diamond. Tagged titanium ore terraria with diamond. Tagged with diamond. Tagged titanium bolts with diamond. Tagged with diamond. trekz titanium pairing
More Bonuses wholesale jerseys,cheap jerseys,nfl jerseys,wholesale jerseys,wholesale nfl jerseys,Cheap Jerseys china,wholesale jerseys,cheap jerseys,wholesale jerseys from china,cheap nfl jerseys top article
BalasHapusd293e5ikglq336 horse dildo,sex chair,penis rings,wholesale sex toys,dildo,cheap sex toys,huge dildos,horse dildo,male sexy toys r865i4wviue116
BalasHapuse420m3qjiyn053 sex toys,vibrators,sex toys,cheap sex toys,dog dildo,women sex toys,wholesale sex toys,fantasy toys,wolf dildo m325h0zdtal570
BalasHapus