Sabtu, 06 Juli 2013

Apresiasi Novel "Di Kaki Bukit Cibalak" Karya Ahmad Tohari



A.    SINOPSIS
          Pambudi adalah seorang pemuda berusia 24 tahun yang tinggal di desa Tanggir, yakni sebuah desa terpencil di daerah Bukit Cibalak. Ia bekerja sebagai pengelola koperasi desa setempat. Namun, selang beberapa hari setelah pelantikan lurah baru Desa Tanggir, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak sepaham dengan lurah baru yang bernama Pak Dirga itu. Pak Dirga memiliki akal yang licik dan kurang begitu dermawan terhadap warganya. Ia juga dikenal sebagai pria yang memiliki banyak isteri. Ia terpilih menjadi lurah karena ia dianggap lebih populer dan luwes ketimbang para pesaingnya.
            Suatu ketika, di kelurahan kedatangan seorang warga bernama Mbok Ralem. Ia berniat meminjam uang di koperasi desa. Ia ingin mengobati benjolan yang menggembung di lehernya hingga membuat nafasnya tercekat. Pambudi menyarankan untuk meminta ijin Pak Dirga terlebih dahulu. Betapa kecewanya Mbok Ralem karena Pak Dirga menolak memberi pinjaman. Bahkan kepada warga miskin seperti Mbok Ralem, Pak Dirga pelit memberi bantuan. Padahal, Mbok Ralem benar-benar harus berobat. Ia janda miskin yang tidak punya apa-apa. Kemana lagi ia harus minta tolong jika pemimpinnya sendiri enggan menolongnya. Begitulah pikir Pambudi. Pambudi tahu bahwa jumlah simpanan di lumbung koperasi yang diurusnya tidak akan terkuras jika sedikit digunakan untuk pengobatan Mbok Ralem. Namun apa daya, pemimpinlah yang berkuasa memberi keputusan.
            Sejak peristiwa itu, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak pantas bekerja di tempat yang bertentangan dengan nuraninya. Hal yang ingin dilakukannya yaitu menolong Mbok Ralem berobat. Hati nuraninya merasa iba melihat nasib Mbok Ralem. Dengan uang tabungannya, Pambudi dan Mbok Ralem berangkat ke Yogya untuk berobat. Setelah diperiksa dokter, hasil laboratorium menyatakan bahwa Mbok Ralem terkena kanker. Pambudi terkejut dan semakin kasihan kepada Mbok Ralem. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa agar Mbok Ralem tidak memiliki beban pikiran.
            Pambudi mencari cara untuk menghasilkan uang. Pengobatan kanker memerlukan biaya yang banyak. Bahkan surat kemiskinan tidak bisa meluluhkan hati dokter untuk merawat Mbok Ralem secara cuma-cuma. Pambudi pergi ke kantor penerbit Kalawarta, sebuah harian lokal di Yogya, dan bertemu pemimpinnya yang bernama Pak Barkah. Ia meminta bantuan kepada Pak Barkah untuk memasang iklan dompet sumbangan untuk pengobatan kanker Mbok Ralem. Pak Barkah mengulurkan bantuannya dan bersedia mencantumkan iklan tersebut dalam harian Kalawarta.
            Setelah kemunculan iklan tersebut, banyak donatur yang mengirim wesel ke kantor harian Kalawarta. Bantuan dana berdatangan untuk membantu pengobatan kanker Mbok Ralem. Mbok Ralem mendapatkan perawatan kelas satu di rumah sakit dan bisa sembuh dari kanker yang menyerangnya. Pambudi mengajak Mbok Ralem ke kantor harian Kalawarta untuk mengucapkan terima kasih kepada Pak Barkah dan staf-stafnya. Pak Barkah juga mengucapkan terima kasih kepada Pambudi, sebab atas peran aktif Pambudi menyelamatkan sesama dan ide cemerlangnya membuat iklan di harian Kalawarta, kini kepercayaan masyarakat terhadap Kalawarta semakin meningkat dan daya minat pembaca pun meningkat. Kalawarta semakin digandrungi oleh warga lokal. Inilah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dan Pak Barkah sangat mengapresiasi dan kagum terhadap sosok Pambudi.
            Sekembalinya ke Desa Tengger, nama Pambudi menjadi perbincangan di masyarakat. Banyak masyarakat yang kagum terhadap usaha Pambudi menolong Mbok Ralem. Di sisi lain, Pak Dirga merasa terhina oleh sikap Pambudi yang terkesan telah mencemarkan nama baiknya sebagai lurah. Pak Dirga juga mendapat teguran dari Pak Camat dan Bupati. Pak Dirga dicaci lantaran tidak bisa mengurus warganya dengan baik. Gara-gara kelakuan Pak Dirga, Pambudilah yang mendapatkan kebanggaan dan nama besar sebagai pahlawan, gelar populer yang seharusnya diterima oleh pemimpin tetapi malah diterima oleh warga biasa seperti Pambudi. Hal itulah yang menyebabkan Pak Dirga membenci Pambudi hingga ia tidak akan merasa puas jika belum membalas dendam kepada Pambudi.
            Upaya balas dendam Pak Dirga kepada Pambudi telah dimulai. Pak Dirga menyebar isu bahwa Pambudi berhenti dari pekerjaannya mengurus lumbung koperasi, lantaran Pambudi telah menilap uang koperasi sebesar Rp. 120.000,- . Jumlah uang tersebut sangat besar pada masa itu. Warga desa yang dulunya kagum dan bangga kepada Pambudi, kini berbalik membencinya. Bahkan keluarga Pambudi juga dibenci dan dikucilkan warga. Isu tersebut menjadi perbincangan hangat di masyarakat hingga mengusik ketenangan orang tua Pambudi. Pambudi ingin menantang Pak Dirga untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun, orang tuanya mencegahnya. Orang tuanya tidak ingin Pambudi menghadapi banyak masalah. Sebab warga Tanggir sangat patuh terhadap pemimpin. Begitulah adat yang mereka lestarikan hingga sekarang. Ayah Pambudi menyarankan agar ia pergi dari Desa Tanggir. Ia menyuruh Pambudi untuk mengalah dan menghindari masalah. Melihat beban batin yang dialami orang tuanya, Pambudi hanya bisa menuruti nasihat mereka. Ia akhirnya pergi meninggalkan desanya.
            Pambudi memutuskan pergi ke Yogya untuk tinggal bersama temannya bernama Topo di sebuah kos-kosan kecil. Topo adalah mahasiswa yang kuliah di Yogya. Sewaktu SMP dan SMA mereka berteman akrab. Setelah bercerita panjang lebar, Topo bisa memahami masalah yang dihadapi Pambudi. Topo menyarankan agar Pambudi melanjutkan kuliahnya di Yogya. Pambudi berpikir bahwa ide itu sangat gila. Namun, dorongan Topo yang begitu kuat membuat Pambudi yakin untuk melanjutkan kuliah. Karena ujian masuk perguruan tinggi masih lama, Pambudi bisa belajar dan mempersiapkan diri untuk mengikuti tes tertulis. Di sela-sela persiapannya, ia juga bekerja di sebuah toko arloji milik orang China. Di sana ia berkenalan dengan anak majikannya yang bernama Mulyani yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Mereka bersahabat dan sering mengisi waktu untuk bermain teka-teki bersama.
            Rupanya Mulyani telah menaruh hati kepada Pambudi. Ia sangat pandai menutupi perasaannya. Hubungan mereka berjalan hanya sebatas pertemanan. Setelah bekerja di toko arloji beberapa bulan lamanya, Pambudi mengundurkan diri lantaran ia telah diterima bekerja di harian Kalawarta oleh Pak Barkah. Ia juga telah diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik. Mulyani sedih karena ia akan jarang bertemu dengan Pambudi. Tapi ia hanya bisa memberi semangat dan dukungan terhadap keputusan Pambudi. Tak lama lagi ia akan meneruskan kuliah di tempat Pambudi kuliah dan mereka akan semakin sering bertemu. Begitulah pikiran Mulyani yang begitu memendam perasaannya kepada Pambudi.
            Pambudi telah resmi menjadi jurnalis di harian Kalawarta. Ia membuat gebrakan baru dan menyalurkan ide-ide cemerlangnya untuk mengangkat Kalawarta menjadi harian yang lebih dikenal. Pak Barkah sangat memuji keahlian Pambudi. Tulisan-tulisan Pambudi banyak diminati masyarakat. Pambudi juga sering menulis tentang Desa Tanggir dan persoalan-persoalan yang dihadapi desa kecil itu. Tulisannya juga menguak tentang ketidakadilan pemimpin desa itu. Tak jarang tulisan Pambudi membuat garang pejabat setempat. Terutama Pak Dirga. Ia semakin tidak disenangi oleh atasannya. Akhirnya, Pak Dirga diberhentikan dari jabatannya.
            Setelah sekian lama Pambudi mengasingkan diri di Yogya, ia kembali ke Desa Tanggir untuk menjenguk orang tuanya. Ia berniat untuk mengabarkan berita kelulusannya dan membuat orang tuanya bangga. Sampai di rumah, ia mendapat kabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. Hal yang disesalinya adalah ia belum sempat mengatakan kepada ayahnya bahwa ia telah menjadi sarjana. Ia telah ikhlas dengan kepergian ayahnya, karena baginya kematian merupakan hal yang sudah sewajarnya terjadi.
            Di pemakaman ayahnya, Pambudi bertemu dengan Sanis, gadis yang dulu amat sangat dicintainya. Namun sayang, diusianya yang  baru menginjak 17 tahun, ia kini telah menjadi janda dari Pak Dirga. Pambudi sudah tidak menyukai Sanis lagi. Mereka hanya saling menyapa dan bertanya kabar.
            Di rumah, Pambudi dikejutkan dengan kedatangan Mulyani. Mulyani mengutarakan duka citanya dan ia mengajak Pambudi pergi ke suatu tempat. Di tempat sepi, Mulyani mengutarakan perasaanya kepada Pambudi. Ia merasa malu karena sebagai seorang wanita ia tak seharusnya mengutarakan perasannya terlebih dulu. Namun, ia tidak sabar menunggu pengakuan Pambudi. Sebenarnya, Pambudi sudah mulai menyukai Mulyani sejak mereka sering bertemu. Pambudi tahu mereka berdua memiliki perbedaan. Mulyani anak orang kaya sedangkan Pambudi hanya anak orang biasa yang tinggal di desa kecil. Pambudi merasa tidak pantas untuk memiliki perasaan kepada Mulyani. Mulyani terus meyakinkan Pambudi tentang kebenaran perasaan mereka. Begitulah, hingga seterusnya mereka semakin sering bersama.

B. UNSUR INTRINSIK
      1. Fakta Cerita
Alur
            Alur yang digunakan dalam novel di kaki Bukit Cibalak adalah alur maju. Peristiwa yang terjadi diceritakan secara runtut. Ceritanya dimulai dari pengenalan Desa Tanggir oleh tokoh, aktivitas masyarakat sehari-hari, tradisi yang berkembang di masyarakat. Kemudian diikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi di Desa Tanggir, pemilihan lurah baru, konflik antara lurah dan salah seorang warganya yang mengakibatkan pengasingan. Cerita berakhir dengan kebahagiaan pada tokoh utamanya yang menemukan cinta sejati setelah mengalami konflik dan mengasingkan diri dari tanah kelahirannya.
·         Tahap Perkenalan
Pada tahap ini berisi sejumlah informasi penting, misalnya pengenalan waktu dan tempat terjadinya peristiwa yaitu di Desa Tanggir serta pengenalan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita.
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Orang-orang yang biasa memburuh dengan bajak, kemudian berganti pekerjaan.” (DKBC:1)
“Di halaman Balai Desa telah terkumpul banyak sekali warga Desa Tanggir. Lurah baru akan dipilih hari itu, karena lurah lama telah meletakkan jabatan. Seperti nenek moyangnya, orang Tanggir masih berjiwa kawula. Falsafah hidupnya nrimo-pandum.”(DKCB: 4)
·         Tahap Pertikaian
Klimaks terjadi pada tahap ini. Konflik yang dimunculkan yaitu antara lurah baru dan seorang warga yang bernama Pambudi. Karena jalan pikiran Pambudi tidak sesuai dengan lurah baru, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya di kantor kelurahan. Hal inilah yang memicu konflik antara keduanya. Pak lurah iri dengan penghargaan yang diterima Pambudi atas keikhlasannya menolong Mbok Ralem untuk berobat. Sebelumnya pak Lurah menolak untuk menolong Mbok Ralem, maka Pambudilah yang turun tangan dan mendapat pujian, bahkan masuk pada kolom harian Kalawarta. Pak Lurah mendapat teguran dari atasannya karena tidak bisa menangani warganya dengan baik. Hingga menimbulkan dendam pada diri pak Lurah dan mengakibatkan Pambudi harus menjalani pengasingan karena tuduhan-tuduhan palsu yang disebarkan pak Lurah.
“Pak Dirga melepaskan napas panjang lalu menyandarkan diri ke belakang. Dipandangnya Pambudi lama-lama, tetapi pemuda itu tenang saja. Bahkan di dalam hatinya, Pambudi merasa lega. Ia merasa telah mengikuti suara hati nuraninya untuk tidak turut melakukan kecurangan bersama Lurah Dirga.”
“Pak Dirga sebaliknya, kulit mukanya terasa seperti di jerang di atas api. Panas, malu. Ia tidak berhasil menundukkan Pambudi, padahal rencana yang dirahasiakan sudah terlanjur diberitahukan kepada anak muda itu. Bagaimanapun ini berbahaya. Tetapi kepala desa itu terpaksa juga harus menaruh hormat pada keteguhan sikap Pambudi. Dan ia diam saja ketika Pambudi pamit dan pergi.” (DKBC:14)
·         Tahap Peleraian
Bagian ini menunjukkan akhir dari cerita dalam novel tersebut. Tokoh utama, Pambudi mendapat keadilannya. Ia bisa kembali ke desanya dan masyarakat mulai menaruh kepercayaan kembali padanya. Sementara Lurah Dirga harus melepas jabatannya lantaran dinilai tidak bisa menjadi kepala desa yang baik tetapi malah terjerat dalam banyak kasus.
“Untuk membereskan lurah Desa Tanggir, Pak Camat akhirnya menemukan sebuah cara. Diam-diam ia menyuruh seseorang untuk menyelenggarakan meja judi. dapat dipastikan Pak Dirga akan muncul pada arena judi itu. Apalagi dengan bisik-bisik diberitakan, bahwa perempuan cantik akan melayani meja judi itu. Pada malam kedua, Pak Dirga masuk perangkap. Seorang jaksa menangkap basah Lurah Tanggir itu saat sedang mengocok kartu. Memang, Siapapun tahu, bukan kali ini Pak Dirga Berjudi. Ia penjudi. Sekarang ada alasan resmi untuk menjemur Pak Dirga di halaman kantor polisi. Langkah pertama yang ditempuh Pak Camat telah berhasil menjatuhkan Lurah Tanggir. Sesudah dijemur di halaman kantor polisi,  beslit Pak Dirga dicabut. Diharapkan semua orang akan berkata Lurah Tanggir di pecat gara-gara ia bermain judi. Bukan dengan alasan lain apapun bunyinya.” (DKBC:93).
 Tokoh dan Penokohan
·         Pambudi
Pambudi merupakan tokoh sentral protagonist dalam cerita.
Wataknya yaitu:
Rendah hati, suka menolong tanpa pamrih dan tidak sombong.
“Adalah pantas bila aku berbuat sesuatu untuk menolong Mbok Ralem. Didengarkannya dengan sungguh-sungguh suara hatinya sendiri. Kemudian datanglah tekadnya.”(DKBC:15)
“Apabila Pak Dirga bertanya darimana kau mendapat uang jalan, katakana saja sanak family telah memberikan bantuan padamu. Aku tidak ingin kau sebut-sebut, mengerti Mbok” (DKBC:16)
“Pak Barkah mengakui, sudah lama ia tidak menemukan seorang muda dengan kepribadian seperti Pambudi. Seorang yang bersedia menolong sesamanya tanpa balas jasa apapun.”(DKBC:32)
“Pambudi tidak pernah mengatakan pernah bersekolah selain di sekolah dasar.” (DKBC:66)
“Pak, saya tidak yakin pada kemampuan saya sendiri dalam bidang jurnalistik. Apa mungkin seorang pelayan toko tiba-tiba berubah menjadi jurnalis?” (DKBC:71)
Rajin beribadah
“Hari Jum’at siang, Pambudi mengenakan kain sarung baru. Ia hendak bersembahyang jum’at di surau.” (DKBC:26)
“Setelah bersembahyang di atas sehelai koran, Pambudi merebahkan diri untuk tidur.” (DKBC:22)
“Selesai sembahyang subuh, Pambudi bernyanyi-nyanyi kecil.” (DKBC:14)
Berjiwa sosial
“Sebenarnya Pambudi ingin menjadikan lumbung koperasi yang diurusnya sebagai tempat ia membuktikan kecakapannya. Ia ingin membuat badan sosial itu sungguh-sungguh merupakan sebuah koperasi, yang akan banyak faedahnya bagi segenap penduduk Tanggir.”(DKBC:8)
“Sepantasnya Mbok Ralem diperlakukan secara khusus. Ia sakit. Wajarlah bila ia diberi pinjaman sebesar yang ia perlukan untuk biaya penyembuhan penyakitnya. Saya mengingatkan kepada Bapak bahwa sepertiga keuntungan lumbung koperasi tersedia bagi pengeluaran-pengeluaran darurat yang harus dipikul oleh desa seperti bencana banjir, kebakaran, dan sebagainya. Bagaimana bila Mbok Ralem kita beri uang berobat dari dana darurat itu”(DKBC:11)
Jujur dan bertanggung jawab
“Di dalam hatinya Pambudi merasa lega. Ia merasa telah menuruti suara nuraninya untuk tidak turut melakukan kecurangan bersama Pak Dirga.” (DKBC:14)
Teguh pendirian
“Pokoknya aku bertindak atas keyakinan sendiri, keyakinan dengan dasar yang kuat:kebenaran. Memang aku tidak mampu memaksakan agar kebenaran selalu menang. Namun, dengan sengaja tunduk dengan kepalsuan sungguh memalukan.”(DKBC:55)
Pekerja keras
“Kehidupan yang rutin mulai dilakukan oleh Pambudi. Pagi-pagi menanak nasi dan merebus air untuk berdua. Sesudah Topo berangkat ke kampus ia membuka-buka buku pelajaran SMA yang didatangkan oleh sahabatnya. Dua bulan lamanya Pambudi bekerja keras. Pambudi juga berusaha mendapatkan pekerjaan sementara. Pambudi bekerja di toko arloji. Selain menjaga toko, ia juga harus menyapu, mengepel, dan mengantarkn babu ke pasar.” (DKBC:62)
Penyabar
“Bagaimana dengan rencanaku untuk meneruskan sekolah, bila aku direpotkan oleh urusan Lurah Tanggir dan si Poyo itu. Biarlah. Aku harus diam. Masih ada mahkamah yang lebih tinggi. Tuhan pribadi yang akan menjadi hakim.” (DKBC:69)
·         Lurah Dirga
Pak Dirga merupakan tokoh antagonis dalam cerita.
Wataknya yaitu:
Luwes, penjudi, beristeri banyak
“Calon yang gagah itu bernama Dirgamulya. Ia luwes, pandai bermain bola, pandai berjudi dan gemar berganti isteri.” (DKBC:7)
Korupsi
“Pak lurah sering melanggar ketentuan ketentuan perkoperasian. Tidak jarang lurah memberi perintah menjual padi lumbung koperasi tanpa melalui ketentuan yang dibenarkan. Sebulan sesudah pengangkatannya, Pak Dirga memulai kecurangannya.” (DKBC:8)
Pelit
“Pokoknya aku tak bisa memberi pinjaman sebesar yang ia perlukan. Apalagi dana darurat yang kau maksud itu harus kita berikan cuma-cuma. Tidak mungkin.” (DKBC:11)
Pendendam dan iri hati
“Pak Dirga pasti sadar bahwa rahasianya turut dibawa keluar olehnya. Pada akhirnya hal ini akan membawa akibat tidak baik. Di sebuah desa kecil seperti Tanggir, orang akan merasa gelisah bila ternyata lurah membencinya.” (DKBC:14)
“Aku tidak senang masalah Mbok Ralem tersebar sebagai berita yang hebat, menyebabkan aku dan Pak Camat kena marah Bupati, menyebabkan Bupati ditegur Gubernur. Kau tahu siapa yang telah membuat kekacauan ini. Akan ku uji kekuatan otaknya.” (DKBC:33)
Suka memfitnah
“Tak ada pengeluaran yang tidak dapat kita buktika kesahannya. Pengeluaran untuk biaya pelantikan bapak sebelas bulan yang lalu sudah dihapuskan. Tetapi dalam buku yang kedua ada pengeluaran atas tanggung jawab seseorang. Pambudi. Nanti pada saat yang tepat kita akan mnyebarluaskan isinya. Semua warga Tanggir akan mencap Pambudi sebagai ‘kelilip desa’.” (DKBC:34)
Licik dan suka memanfaatkan orang lain
“Ayah sanis sedang mengajukan permohonan kepada Bupati agar langgarnya dipugar dengan biaya pemerintah. Tanpa aku, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi ia tak pantas menolak bila anaknya kuminta dijadikan model olehmu. Riaslah Sanis secantik mungkin. Apabila dalam perantaraan kita, Sanis dapat menjadi menantu Pak Camat, untunglah kita.” (DKBC:47)

Tidak sopan kepada orang tua dan tidak adil
“Beberapa hari yang lalu ayah Pambudi pergi ke Balai Desa. Ia hendak meminta surat-surat yang diperlukan untuk mengajukan permohonan kredit bimas. Orang tua itu dibiarkan menunggu lama sekali, sedangkan Pak Dirga enak-enakan merokok bersama Poyo. Ketika akhirnya lurah mau melayani ayah Pambudi, ia berkata dengan nada yang amat menyakitkan. Kenapa sampeyan minta surat keterangan kepadaku, dan bukan ke redaksi harian kalawarta di Yogya” (DKBC:54)
·         Mbok Ralem
Watak Mbok Ralem yaitu:
Penyabar dan pantang menyerah dan hidup sederhana
“Aku ingin sembuh, Nak. Leherku makin lama makin tercekik rasanya.” (DKBC:10)
 “Tidak ada bilik-bilik dalam rumah Mbok Ralem. Di susut bagian timur ada tungku dan tempayan. Beberapa perkakas dapur, cerek, kuali, dan gayung di atas tungku itu. Barangkali tadi pagi Mbok Ralem sekeluarga sarapan singkong bakar. Kulitnya berserakan di bawah satu-satunya tempat tidur tanpa tikar di dalam rumah itu.” (DKBC:16)
“Mbok Ralem keluar dengan pakaian aslinya, tidak bersandal. Bagaimanapun, ia tetap nyaman dengan keasliannya.” (DKBC:29)
Penyayang
“Mas, Ajeng. Saya teringat kepada anak-anak saya. Di sini saya makan serba enak dan cukup. Saya yakin kedua anak saya terlantar bersama bibinya. Kalau boleh, saya akan membawa pulang makanan itu untuk anak-anak saya.” (DKBC:28)
·         Sanis
Pemalu
“Sanis berdebar dan hanya bisa menundukkan kepala.” (DKBC:49)
Matrelialistis
“Kau tak tahu bahwa sejak kau memotretku dulu, aku tak dapat melupakanmu. Tapi, kau malah mendorongku agar lebih dekat pada Pambudi. Apa yang hebat pada Pambudi itu. Tidak sadarkah kau bahwa segala yang ada padamu lebih baik daripada Pambudi.” (DKBC:79)
·         Mulyani
Pendiam dan acuh
“Mulyani lebih suka duduk diam menekuni teka teki silang yang dimuat di Koran atau majalah. Suatu ketika ia terlihat gelisah karena tidak bisa menjawab seluruh pertanyaan. Mulyani putus asa dan meninggalkan majalah itu.”(DKBC:64)
Manja dan suka merajuk
“Secara samar Pambudi telah mengetahui adat Mulyani yang selalu merajuk bila kehendaknya tidak dituruti.” (DKBC:65)
Egois dan agresif
“Aku benci, benci pada orang yang tidak bisa menghargai perasaan. Persahabatan harus juga dihiasi dengan perasaan. Kukira kau tak mempunyai cukup perasaan.”(DKBC:67)
·         Pak Barkah
Antusias dan penuh perhatian
“Sikapnya berubah menjadi penuh perhatian setelah Pambudi menerangkan maksudnya dengan jelas. Uraian Pambudi selalu ditanggapi dengan anggukan kepala. Bahkan ia masih mengangguk-angguk meskipun Pambudi telah selesai menerangkan semuanya. Baiklah, saya akan susun naskah iklan itu” (DKBC:20)
·         Topo
Optimistis
“Sudah kukatakan aku lebih miskin darimu. Ternyata aku bisa mencapai tingkat pendidikan hingga sekarang. Aku yakin, kaupun akan bisa memperoleh apa yang telah kudapat.” (DKBC:61)
·         Bambang
Bijaksana
“Bambang pulang. Ia tidak merasa kecewa atas sikap yang ditunjukkan oleh kedua orang tua Pambudi. Sebaliknya Bambang dapat memahami mengapa mereka begitu menghawatirkan nasib anaknya.” (DKBC:77)
Latar
·         Latar waktu
Waktu yang dilukiskan dalam novel yaitu pada masa transisi dari zaman tradisional ke zaman modern.
“Pagi hari pada musim tanam ladang. Tegalan yang telah tercangkul dan berbongkah-bongkah kering, tersiram hujan. Srigunting telah lama punah dari wilayah Bukit Cibalak. Induk ditangkapi dimasukkan ke dalam kotak-kotak kaca sebagai pajangan. Di desa Tanggir, kicau burung telah diganti dengan suara mobil dan motor, kaset dan radio, atau diesel penggerak gilingan padi.” (DKBC:3)
Suasana tersebut menunjukkan musim tanam telah tiba. Tanaman yang ditanam adalah jenis palawija digambarkan dengan tanah kering yang baru dicangkul dan tersiram oleh hujan. Masa itu juga menunjukkan proses menuju masa modern dibuktikan dengan banyaknya barang-barang modern yang ada di Desa Tanggir seperti mobil, motor, mesin penunjang pertanian, alat komunikasi elektronik, dan lain sebagainya. Selain itu, karena keserakahan manusia akan materi, jumlah spesies binatang menurun. Hal ini juga menggambarkan bahwa globalisasi telah memasuki daerah tersebut.
·         Latar tempat
Desa Tanggir, Bukit Cibalak
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak tenaga kerbau telah digantikan traktor. Burung kucica terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya.” (DKBC:1)
Yogya
“Seminggu kemudian, Pambudi sudah berada di Yogya.” (DKBC:57)
·         Latar suasana
Suasana peralihan ke masa modern
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan.”(DKBC:1)
“Di desa Tanggir, kicau burung telah diganti dengan suara mobil dan motor, kaset dan radio, atau diesel penggerak gilingan padi.”(DKBC:3)

2. Sarana Cerita
Judul
            Judul novel tersebut yaitu Di Kaki Bukit Cibalak. Alasan pemilihan judul tersebut bisa jadi karena latar dalam novel berada di kaki Bukit Cibalak yaitu Desa Tanggir. Penulis ingin menceritakan peristiwa yang terjadi di Desa Tanggir mulai dari keseharian masyarakat, tradisi yang dianut, kehidupan sosial, dan sistem kepemimpinan di desa itu. Karena itulah, penulis memberi judul Di Kaki Bukit Cibalak.
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak tenaga kerbau telah digantikan traktor. Burung kucica terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya.” (DKBC:1)
Sudut Pandang
            Sudut pandang dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu. Penulis bukan sebagai orang pertama melainkan sebagai orang ketiga mahatahu yang dapat menceritakan segala sesuatu tentang tokoh Pambudi, Pak Dirga, Mbok Ralem dan lain-lain serta mampu menceritakan segala peristiwa yang berlaku dalam cerita.
Gaya dan Nada
            Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novel tersebut terlihat pada kemampuannya menerangkan proses terjadinya bukit Cibalak menggunakan bahasa ilmiah. Hal ini mencerminkan bahwa pengarang memiliki riwayat pendidikan yang tinggi atau ia memang gemar membaca buku-buku pengetahuan
“Daya pikir manusia dapat membuktikan bahwa dulu bukit itu adalah lapisan kerak bumi yang berada di dasar laut. Alam yang perkasa, dengan kekuatan tektonis mengangkat lapisan kerak bumi ke atas permukaan laut dan lebih tinggi lagi. Sisa-sisa koloni binatang karang yang dulu hidup subur di bawah air laut, memberi bahan dasar bagi terbentuknya lapisan kapur yang mewarnai Cibalak. Setelah melewati masa berjuta-juta tahun, datanglah lumut kerak. Hutan pakis yang menutupi Cibalak beribu-ribu abad lamanya meninggalkan lapisan humus yang tebal, tempat tanaman yang lebih tinggi tingkatannya menancapkan akar.” (DKBC:38)
            Pengarang menyajikan perwatakan tokoh melalui kalimat-kalimat tersirat yang melatih pembaca untuk menganalisis watak masing-masing tokoh. Bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami apalagi yang berhubungan dengan percakapan antar tokoh, bahasanya dikemas sesuai dengan bahasa yang berkembang dan digunakan masyarakat pada masa modern.
            Pengambaran suasana alam menggunakan bahasa yang sangat puitis sehingga menimbulkan kesan bahwa Bukit Cibalak merupakan kawasan yang asri tenteram dan makmur.
“Dulu, jalan setapak itu adalah terowongan yang menembus belukar puyengan. Bila iring-iringan kerbau lewat, tubuh mereka tenggelam di bawah terowongan semak itu. Hanya bunyi korakan yang tergantung pada leher mereka. Mereka tetap tidak mengerti mengapa kerbau-kerbau senang mengusik ketentraman belukar puyengan. Burung-burung kucica yang telah turun temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang. Bekas telapak kerbau yang mengukir jalan-jalan setapak telah terhapus oleh gilasan roda-roda sepeda. Dari sebuah lorong setapak yang sempit kini terciptalah jalan kampung yang agak lebar.” (DKBC:1-2)
3. Tema Cerita
            Tema yang diangkat dalam novel tersebut yaitu perseteruan antara seorang pemuda Tanggir bernama Pambudi dengan Lurah desa setempat. Konflik tersebut bermula karena mereka berdua tidak memiliki pandangan yang sama dalam menyikapi persoalan yang muncul di desa mereka. Pambudi memiliki jiwa sosial yang tinggi sedangkan Pak Lurah tidak ringan tangan terhadap warganya. Ketika Pambudi mendapat pujian atas jasanya menolong salah seorang warga yang menderita kanker, Pak Lurah merasa iri dan dendam. Pambudi harus dikucilkan dari desanya sendiri lantaran tuduhan palsu yang disebarkan oleh Pak Lurah kepada warga setempat. Pambudi yang berjiwa penyabar dan rendah hati akhirnya mendapat keadilannya dan Pak Lurah mendapat hukuman atas ketidakbecusannya menjadi kepala desa.


C. UNSUR EKSTRINSIK
Biografi Pengarang
            Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 64 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).
            Kaitan penulis terhadap karyanya dapat kita amati melalui adat atau tradisi yang diciptakan dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak yang berhubungan dengan tradisi Jawa. Hal ini bisa dihubungkan dengan asal penulis yang lahir di tanah Jawa sehingga penulis terinspirasi untuk membuat novel dengan menghubung-hubungkan tradisi yang masih berkembang pada masyarakat Jawa.
            Dalam novel tersebut juga diselimuti unsur politik. Bisa jadi, si penulis pada zamannya sedang giat mengkritisi politik di Indonesia, didukung dengan riwayat pendidikannya yang pernah belajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Melalui karyanya bisa disimpulkan bahwa ia sangat menaruh perhatian terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Karyanya tidak hanya sekadar rekaan belaka, tetapi juga mengandung unsur tatanan kehidupan yang berkembang di masyarakat yang bisa menjadi renungan bagi pembaca.
Kehidupan Sosial
“Para pemilik kerbau di sekitar kaki Bukit Cibalak tidak menggembalakan ternak mereka. Binatang itu bebas berkeliaran mencari rumput. Seringkali kerbau itu tidak pulang ke kandang alias tidur di hutan.” (DKBC:1)
Para warga yang tinggal di kawasan Bukit Cibalak digambarkan sebagai penggembala. Seperti kebanyakan penggembala lainnya, mereka tidak selalu memerhatikan gembalaannya. Binatang gembala itu berkeliaran bebas dan akan kembali ke kandang ketika sudah waktunya. Biasanya menjelang senja, binatang ternak itu akan kembali ke kandangnya. Kehidupan sosial seperti itu mirip dengan kehidupan yang masih berkembang di desa pada masa sekarang. Masyarakat desa masih ada yang menjadi penggembala atau peternak, seperti kambing dan ayam. Binatang-binatang tersebut juga dibiarkan bebas berkeliaran untuk mencari makan di alam. Sampai waktu senja, binatang jinak itu akan kembali ke kandangnya. Suasana pedesaan sangat terasa dalam imajinasi penulis.
“Di sekitar kaki Bukit Cibalak tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Orang-orang yang biasa memburuh pekerjaan kemudian berganti pekerjaan. Misalnya Pak Danu yang menjadi tukang timbang ampas singkong. Dua orang anak gadis Pak Danu dibawa makelar, menjadi babu di Jakarta.” (DKBC:1)
Peralatan tradisional masyarakat perlahan-lahan telah berganti menjadi peralatan modern. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar Bukit Cibalak sedang mengalami masa transisi dari masyarakat tradisional ke masa modern atau berada pada masa pra modern. Alat bajak tradisional seperti kerbau telah digantikan traktor yang berupa tenaga mesin. Menunjukkan masyarakat telah terbuka menerima kemajuan teknologi untuk meningkatkan efektifitas kerja. Proses urbanisasi juga sudah dikenal oleh masyarakat sebagai contoh anaknya Pak Danu yang merantau ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga.
“Pagi-pagi mereka ke pasar membawa apa-apa untuk dijual disana. Biasanya mereka menjual akar kayu jati yang mereka gali dari lereng-lereng Bukit Cibalak. Pulang dari pasar orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu membawa keperluan hidup mereka.” (DKBC:2)
Masyarakat desa digambarkan seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Orang-orang dari desa biasanya menjual hasil pertaniannya ke pasar ketika masih fajar sehabis subuh karena pada saat seperti itu banyak tengkulak yang datang. Barang yang dijual berupa sayur-sayuran seperti labu, timun suri, kangkung, mentimun, terong, dan sebagainya. Masyarakat Cibalak pun demikian. Bedanya mereka menjual kayu jati karena komoditi yang dihasilkan daerah itu adalah kayu jati. Pulang dari pasar mereka akan membawa oleh-oleh untuk anak-anaknya berupa jajanan pasar. Atau hanya membeli kebutuhan pokok untuk dimasak. Ini sangat mirip dengan penggambaran masyarakat desa. Nampaknya, penulis ingin menggambarkan tata kehidupan penduduk Cibalak ketika memenuhi kebutuhan hidup yang diceritakan sesuai dengan kehidupan masyarakat desa pada umumnya untuk menimbulkan kesan alami pada novelnya.
Tatanan Politik
“Ayah Sanis tidak memiliki tanah sedikitpun, kecuali sedikit tanah bengkok yang ia terima sebagai gaji seorang modin. Tugas ayah Sanis adalah segala sesuatu yang menyangkut upacara keagamaan dan menjaga surau di desa itu.” (DKBC:3)
Dalam lingkungan pedesaan, kita mengenal istilah modin. Dalam novel juga dijelaskan tugas modin yaitu mengurusi masalah keagamaan. Biasanya modin bertugas di KUA yang mengurusi masalah pernikahan dan kematian. Sebagai petugas desa, modin tidak digaji dengan uang, tapi ia diberi sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitulah sistem pemerintahan yang dijalankan di desa.
“Di halaman Balai Desa telah berkumpul banyak sekali warga Desa Tanggir. Lurah baru akan dipilih hari itu karena lurah lama telah meletakkan jabatan. Sebab sebenarnya adalah perselisihan yang terjadi antara lurah dengan seorang warga Tanggir yang ternyata saudara dekat Bupati.” (DKBC:4)
Warga Tanggir sudah mengenal adanya pemilihan pemimpin, berarti masyarakat tersebut tidak digambarkan sebagai masyarakat yang terbelakang tetapi sebagai masyarakat yang maju. Dan sistem pemilihannya pun melalui pemilu. Berarti peristiwa tersebut berlangsung pada era reformasi. Kisruh politik juga terjadi antara para pejabat desa. Masalah yang sering muncul dalam perpolitikan di Indonesia. Isu nepotisme juga diperlihatkan, misalnya konflik lurah dengan warganya yang berakibat lurah harus diberhentikan jabatannya karena warga tersebut adalah kerabat bupati. Hal ini menunjukkan betapa kekuasaan memiliki kedudukan tertinggi.
“Di pagi itu baik mereka yang keturunan kawula maupun yang mengaku keturunan kerabat ningrat sudah berkumpul di halaman Balai Desa. Banyak orang yang akan memberikan suara kepada calon yang disukainya dengan ikhlas. Tetapi banyak juga yang bersedia menjual suaranya dengan berbagai cara yang dirahasiakan.”
“Toh hanya sehari ini kita mempunyai harga. Besok, seorang yang terpilih akan berubah sikap dari ramah tamah terhadap semua orang menjadi acuh tak acuh kepada siapapun. Tadi malam, semua jago menjamu kita sekenyang-kenyangnya. Jangan harap besok pagi kita akan dipersilakan duduk kalau kita bertamu ke rumahnya. Percayalah.”(DKBC:5)
Masyarakat sangat antusias mengikuti pemilu meskipun memiliki latar belakang alasan yang berbeda. Ada yang ikhlas memberikan suaranya dan ada pula yang memberikan suara karena sogokan. Sebagian warga berpikiran bahwa siapapun lurah yang terpilih, toh dalam perjalanannya memimpin desa sama saja melakukan kecurangan.pemikiran tersebut juga masih berkembang di masyarakat desa. Mereka menerima sogokan karena mereka sudah tidak lagi percaya dengan pemimpin yang benar-benar jujur. Memang, awalnya para calon pemimpin memberi janji yang muluk-muluk, mendekatkan diri kepada rakyat dengan memberi segala macam bantuan agar menarik dukungan mereka. Tapi setelah jadi pemimpin, suara rakyat tidak dihargai lagi. Itulah sistem politik yang terjadi di Indonesia. Suara rakyat bisa dibeli dengan materi. Bukan rakyat tidak memiliki kesadaran, tetapi kejujuran sulit dirasakan oleh masyarakat.
“Tiba-tiba perhatian semua orang tertuju pada seorang kakek yang sedang membaca mantra. Tentu ia telah dibayar oleh seorang calon. Kemudian si kakek dituntun keluar oleh seorang hansip.”
“Tiap-tiap calon mempunyai beberapa orang botoh yang mempunyai tugas sebagai pengumpul suara. Soal cara, tidak diperhatikan benar. Mereka mau bekerja dengan satu tujuan, uang.” (DKBC:6)
Umumnya, ketika seseorang mencalonkan diri sebagai pemimpin ia akan melakukan berbagai cara untuk mensukseskan rencananya. Ia membayar juru kampanye untuk mencari pendukung. Cara yang lain yaitu melalui perantara dukun. Tak jarang, para calon mendatangi dukun untuk menyingkirkan lawan mereka. Mereka rela kehilangan uang banyak untuk menduduki kursi jabatan. Lalu, apakah mereka benar-benar bisa jujur dalam memimpin ketika sudah kehilangan banyak uang untuk keperluan kampanye dan tetek bengek pencalonannya.
“Kelima orang calon yang hendak dipilih pagi itu telah mengeluarkan uang banyak sekali, dari uang pendaftaran, uang ujian, sampai kepada uang yang harus dikeluarkan untuk para botoh dan dukun. Tetapi yang paling besar biayanya adalah untuk perjamuan. Setiap calon berusaha menjamu seluruh warga Desa Tanggir dengan makan minum yang hamper tanpa batas. Biaya yang besar itu akan mengakibatkan menyulitkan calon yang menang, apalagi yang kalah. Jadi ada benarnya bila seseorang mengatakan bahwa tugas pertama seorang lurah baru adalah menata kembali perekonomian rumah tangganya. Kecurangan para lurah biasanya bermula dari titik ini.” (DKBC:7)
Sistem politik di Indonesia masih jauh dari kata jujur. Besarnya biaya pencalonan sebagai pemimpin menjadi alasan para penguasa untuk korupsi. Mereka telah kehilangan uang banyak untuk pencalonan, mereka akan berpikir tidak ada salahnya jika menikmati gaji lebih. Hal itu juga telah menjadi rahasia umum. Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa jika pemimpin mereka berbuat sekehendak hati.
Tradisi dan Pandangan Hidup
“Seperti nenek moyangnya, orang Tanggir masih berjiwa kawula. Falsafah hidupnya nrimo-pandum.”(DKBC:4)
Tradisi masyarakat Tanggir yaitu sangat menjunjung warisan nenek moyangnya. Mereka berjiwa kawula yaitu menerima apapun yang terjadi. Meskipun telah menuju masa modern, namun masyarakatnya tetap berjiwa tradisional dan tetap menghormati leluhur.
“Sebelum para juru rias mengenal cat, sinoman dilukis dengan getah papaya yang dicampur jelaga. Terdapat kepercayaan yang aneh. Apabila ternyata lukisan sinoman itu meleleh pada saat pengantin bersanding di pelaminan, menjadi pertanda yang buruk. Pengantin telah kehilangan kegadisannya.” (DKBC:50)
Pada masyarakat Jawa, adat merias pengantin biasanya menggunakan riasan sinoman. Dan kepercayaannya apabila sinoman mencair, mempelai wanita dianggap tidak lagi perawan. Sebenarnya masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan yang mirip dengan penceritaan dalam novel. Hendaknya kepercayaan yang hanya asumsi masyarakat tidak dilebih-lebihkan karena tidak bisa dibuktikan kebenarannya.  Dalam novel penulis menjelaskan bahwa ada alasan lain mengapa sinoman meleleh hal itu lantaran mempelai terlalu mengeluarkan banyak keringat atau tegang saat menghadapi peristiwa pertama yang dialaminya.
“Orang-orang di sini percaya bahwa seseorang tidak mungkin menjadi lurah kalau ia tidak dijatuhi wahyu cakraningrat. Keyakinan itu diperkuat oleh kenyataan kenapa Pak Dirga yang terpilih tahun yang lalu, bukan Pak Badi yang terkenal memiliki keluhuran budi. Jadi dengan keyakinan semacam itu para penduduk akan tetap menjunjung tinggi lurahnya, meskipun lurahnya itu selalu bertindak menurut kemauannya sendiri dan merugikan penduduk.” (DKBC:55)
Kepercayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat Cibalak bahwa mereka sangat mempercayai pemimpin mereka. Meskipun kelakuan buruk si pemimpin telah menjadi rahasia umum, namun mereka tetap menganggap seseorang yang telah menjadi pemimpin itu adalah orang yang benar-benar terpercaya dan sudah ditakdirkan menjadi pemimpin. Jadi setiap perbuatan dan keputusannya tidak dapat dilawan dan diganggu gugat. Berbeda jauh dengan masyrakat Indonesia yang sudah tidak memiliki kepercayaan terhadap pemimpinnya. Sehingga apapun yang diperbuat si pemimpin selalu dianggap salah. Pemimpin sendiri membutuhkan kepercayaan penuh terhadap masyrakat. Tentu ia lebih mengetahui resiko yang akan dihadapi dan ia tak mungkin lepas tangan tetapi juga turut menanggungnya. Namun, sebelum pemimpin itu bersuara, masyarakat sudah menanggapi dengan sinis dan tidak menunjukkan dukungan sepenuh hati. Mungkin inilah yang membuat pemimpin merasa serba salah dan merasa tidak dihormati hingga ia bersikap sesuka hatinya.
Kepercayaan
“Hari Anggara Kasih adalah sebutan mistik bagi hari Selasa Kliwon. Senin malamnya dianggap sebagai saat yang baik untuk memasang sesaji atau guna-guna. Orang yang hendak memasang guna-guna atau melakukan maksud jahat lainnya pun menganggap Hari Anggara Kasih sebagai saat yang baik.” (DKBC:34)
Warga Cibalak digambarkan sebagai warga yang menganut adat Jawa yang masih percaya dengan takhayul dan kekuatan mistik. Mereka masih melestarikan warisan leluhur meskipun kemajuan zaman sudah mengambil alih tatanan kehidupan mereka. Sangat lekat sekali dengan sifat orang Jawa pada umumnya, bahwa biarpun zaman telah berubah namun tradisi tetaplah tradisi yang harus dijaga dan diwariskan secara turun temurun untuk keselamatan hidup. Contoh yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap hari-hari tertentu yaitu orang Jawa sangat memperhitungkan tanggal dan bulan saat mengunduh mantu atau saat mengadakan acara tertentu. Hari yang baik akan membawa kebaikan pula. Ada pula hari yang dianggap keramat, misalnya bila anak lahir pada malam selasa kliwon akan menjadi anak yang menyusahkan orang tua, atau pada bulan Dzulkaedah tidak boleh mengunduh mantu. Begitulah kepercayaan yang masih mereka anut sampai sekarang.
“Kalau sampean dapat memenuhi syarat-syaratnya, aku jamin keinginan sampeyan akan terlaksana. Pertama, usahakan kembang yang kubungkus kain mori ini terlangkahi oleh Pambudi. Kedua, sampeyan harus mengambil segenggam tanah kuburan. Cabutlah sebuah nisan, kemudian masukkan tangan ke dalam lubang bekas nisan itu. Ambil tanah segenggam dari dasar lubang. Lalu taburkan ke atas genting tempat tidur Pambudi.” (DKBC:37)
Penggambaran watak seseorang yang masih percaya dengan perdukunan. Semua hajat yang ingin dicapai, ia pasrahkan melalui perantara dukun. Dukun dianggap bisa menyelesaikan permasalahannya dengan cepat. Dalam berbagai permasalahan kehidupan seperti jabatan, jodoh, konflik dengan lawan, ia adukan kepada dukun untuk diselesaikan. Peristiwa ini mungkin masih terjadi pada masyarakat Indonesia. Untuk memikat hati seseorang, mereka pergi ke dukun meminta susuk atau apapun untuk menambah kharisma mereka. Dalam pekerjaan, mereka meminta jimat untuk mendapat kepercayaan atasan agar naik jabatan atau untuk melanggengkan kekuasaan. Inilah gambaran keserakahan manusia yang tidak lagi berpedoman pada nilai-nilai agama sehingga dalam hidup mereka hanya diselimuti rasa iri dan saling membenci untuk mendapatkan posisi paling menguntungkan.
Nilai Pendidikan
“Daya pikir manusia dapat membuktikan bahwa dulu bukit itu adalah lapisan kerak bumi yang berada di dasar laut. Alam yang perkasa, dengan kekuatan tektonis mengangkat lapisan kerak bumi ke atas permukaan laut dan lebih tinggi lagi. Sisa-sisa koloni binatang karang yang dulu hidup subur di bawah air laut, memberi bahan dasar bagi terbentuknya lapisan kapur yang mewarnai Cibalak. Setelah melewati masa berjuta-juta tahun, datanglah lumut kerak. Hutan pakis yang menutupi Cibalak beribu-ribu abad lamanya meninggalkan lapisan humus yang tebal, tempat tanaman yang lebih tinggi tingkatannya menancapkan akar.” (DKBC:38)
Kutipan tersebut mengandung nilai pendidikan karena menjelaskan pengetahuan tentang perubahan lapisan bumi, terbentuknya bukit, dan tumbuhnya tanaman-tanaman dikawasan yang tak berpenghuni selama beribu-ribu abad lamanya. Bisa jadi pengarang pernah menempuh pendidikan dibidang Geologi sehingga ia paham tentang proses-proses alami yang terjadi di bumi. Atau pengarang memang rajin membaca referensi tentang berbagai macam buku.
Nilai Agama
            Tanpa berniat memunculkan isu sara, dapat disimpulkan bahwa novel ini lebih condong dalam ajaran-ajaran islam. Terkait dengan penulis sendiri yang merupakan seorang muslim. Penulis melukiskan tokoh utama sebagai orang yang taat beribadah. Selain itu kepercayaan dinamisme juga masih berkembang dalam masyarakat Cibalak.
“Setelah bersembahyang di atas sehelai koran, Pambudi merebahkan diri untuk tidur.” (DKBC:22)
“Selesai sembahyang subuh, Pambudi bernyanyi-nyanyi kecil.(DKBC:14)
“Kalau sampean dapat memenuhi syarat-syaratnya, aku jamin keinginan sampeyan akan terlaksana. Pertama, usahakan kembang yang kubungkus kain mori ini terlangkahi oleh Pambudi. Kedua, sampeyan harus mengambil segenggam tanah kuburan. Cabutlah sebuah nisan, kemudian masukkan tangan ke dalam lubang bekas nisan itu. Ambil tanah segenggam dari dasar lubang. Lalu taburkan ke atas genting tempat tidur Pambudi.” (DKBC:37)

D. ASPEK PRAGMATIK
Unsur Moral
            Pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca bahwa sebagai pemimpin kita harus berlaku adil kepada warga dan selau ringan tangan terhadap warga yang membutuhkan pertolongan. Jangan bersikap baik ketika diawasi atasan. Ketika menjadi pemimpin harus bersikap jujur dan bertanggung jawab, tidak menyelewengkan kekuasaan seperti melakukan tidak korupsi dan tindakan amoral lainnya. Pemimpin adalah panutan, alangkah baiknya jika pemimpin itu memiliki akhlak yang baik dan luhur.
“Kelima orang calon yang hendak dipilih pagi itu telah mengeluarkan uang banyak sekali, dari uang pendaftaran, uang ujian, sampai kepada uang yang harus dikeluarkan untuk para botoh dan dukun. Tetapi yang paling besar biayanya adalah untuk perjamuan. Setiap calon berusaha menjamu seluruh warga Desa Tanggir dengan makan minum yang hamper tanpa batas. Biaya yang besar itu akan mengakibatkan menyulitkan calon yang menang, apalagi yang kalah. Jadi ada benarnya bila seseorang mengatakan bahwa tugas pertama seorang lurah baru adalah menata kembali perekonomian rumah tangganya. Kecurangan para lurah biasanya bermula dari titik ini.”(DKBC:7)
Unsur Politik
            Seseorang yang berkeinginan terjun ke dunia politik harus memiliki cara-strategi yang baik dan tidak menggunakan cara-cara curang untuk menduduki suatu jabatan atau melanggengkan kekuasaan. Sistem politik di Indonesia masih jauh dari kata bersih. Bahkan money politic masih sering ditemukan di masyarakat saat menjelang pemilu.
            “Banyak orang yang akan memberikan suara kepada calon yang disukainya dengan ikhlas. Tetapi banyak juga yang bersedia menjual suaranya dengan berbagai cara yang dirahasiakan.”
Toh hanya sehari ini kita mempunyai harga. Besok, seorang yang terpilih akan berubah sikap dari ramah tamah terhadap semua orang menjadi acuh tak acuh kepada siapapun. Tadi malam, semua jago menjamu kita sekenyang-kenyangnya. Jangan harap besok pagi kita akan dipersilakan duduk kalau kita bertamu ke rumahnya. Percayalah (DKBC:5)
Unsur Agama
            Pengarang menggambarkan watak tokoh Pambudi yang rajin beribadah dengan harapan pembaca akan meniru perilaku tokoh. Ibadah adalah hal yang wajib dikerjakan bagi setiap umat beragama. Dalam keadaan bahagia, susah, melarat, banyak masalah dan keadaan apapun kita harus tetap ingat kepada sang pencipta.
”Selesai sembahyang subuh, Pambudi bernyanyi-nyanyi kecil.” (DKBC:14)
“Setelah bersembahyang di atas sehelai koran, Pambudi merebahkan diri untuk tidur.” (DKBC:22)
”Hari Jum’at siang, Pambudi mengenakan kain sarung baru. Ia hendak bersembahyang jum’at di surau.” (DKBC:26)
Unsur Pendidikan
            Aspek pendidikan terlihat pada semangat tokoh untuk melanjutkan kuliah karena dukungan temannya. Meskipun ia merasa sudah tua, namun tidak ada kata terlambat untuk belajar. Bahkan ia terpacu semangatnya untuk bisa masuk jurusan yang bergengsi. Ia giat belajar untuk persiapan ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Semangat tokoh dalam menempuh pendidikan patut ditiru. Banyak diantara kita yang menyepelekan pendidikan dan bahkan banyak yang tidak sekolah karena tidak mampu. Keterbatasan materi bukanlah menjadi penghalang utama untuk meraih cita-cita. Jadi selama masih muda, kita harus menuntut ilmu setinggi-tingginya.
“Masuk kampus! Aku tidak ragu sedikitpun untuk berkata, bahwa apa yang layak kau lakukan sekarang ini adalah bersekolahh lagi.”(DKBC:59)
“Sulit juga memahami pelajaran yang telah lama membeku di otaknya. Bahkan hanya dengan susah payah, atas bantuan Topo, Pambudi dapat mengingat kembali kaidah-kaidah bahasa Inggris. Dua bulan lamanya Pambudi bekerja keras. Kemudian ia mampu menyelesaikan soal-soal ilmu pasti dan ilmu kimia yang ringan-ringan. Diskusi kecil yang dilakukan bersama Topo membantu Pambudi menghafal kembali pelajaran ilmu sosial.
 


           

4 komentar: