Kamis, 18 April 2013

Sinopsis Novel dua


Khotbah di Atas Bukit
Karya Kuntowijoyo

            Barman adalah seorang pensiunan diplomat yang kesehariannya hidup bersama anaknya yang bernama Bobi, dan Dosi menantunya, serta cucu-cucunya. Istrinya meninggal sejak Bobi masih kecil. Ia tidak tega untuk memberi Bobi ibu tiri. Maka selama ditinggal istrinya, ia tidak pernah menikah lagi. Meskipun begitu, nalurinya sebagai lelaki memaksanya untuk menyukai wanita lain. Dalam perantauannya di negara asing, ia sering mengencani para wanita. Bobi pernah memergokinya sedang berduaan dengan wanita lain. Barman hanya mengatakan kepada Bobi agar menganggap wanita itu sebagai ibunya.
            Kini Barman telah menjadi kakek-kakek tua yang lemah. Setiap hari ia menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan menyusuri perkotaan atau bermain-main dengan cucu-cucunya. Suatu hari, Bobi menyarankan Barman agar tinggal di villanya yang ada di bukit dan menghabiskan sisa hidupnya disana. Bobi ingin ayahnya meninggalkan segala pikiran tentang dunia dan hidup bahagia di bukit tanpa membawa beban. Bobi sangat tahu selera ayahnya. Ia juga mengenalkan ayahnya kepada seorang wanita bernama Popi untuk menemani ayahnya di bukit. Barman sangat menyukai Popi yang cantik dan masih muda. Barman akhirnya menyetujui usulan Bobi, dan ia pindah ke bukit bersama Popi.
            Di bukit, Barman memulai hidupnya yang baru bersama Popi, kekasih hatinya. Ia hanya perlu bersenang-senang dan menikmati masa tuanya. Melupakan segala pikiran yang ada di kota yang menganggunya selama ini. Popi yang masih muda itu telah memutuskan untuk bersedia melayani Barman dan mendampinginya. Barman sangat senang dengan kehadiran Popi disampingnya yang mampu memberi kehangatan dan kenyamanan.
            Kehidupan mereka di bukit berjalan dengan sebagaimana mestinya. Kehidupan yang tanpa beban. Popi rajin mengerjakan tugas di dapur dan melayani Barman. Jika mereka kekurangan bahan makanan atau membutuhkan sesuatu, mereka tinggal menelepon Bobi dan selanjutnya sopir akan segera mengirim barang-barang yang mereka butuhkan. Begitu seterusnya.
            Barman suka menghabiskan waktu di luar rumah menikmati pemandangan yang terbentang di atas bukit. Suatu ketika ia pamit untuk mendaki ke puncak bukit. Popi sudah melarangnya dan meminta Barman agar tidak berinteraksi dengan lingkungn luar. Barman harus menjaga kesehatan tubuhnya. Namun, Barman tetap kukuh untuk melakukan pendakian.
            Di perjalaanan, ia kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah rumah yang tak berpenghuni dan menumpang istirahat di sana. Ia tertidur. Beberapa saat kemudian ia terbangun dan melihat makanan yang tertata di meja. Ia bertemu dengan seseorang. Humam namanya. Pemilik rumah yang disinggahi oleh Barman. Mereka berkenalan dan Humam menyuruh Barman agar memakan makanan yang telah disiapkan. Barman bertanya apakah Humam tinggal di rumah itu sendirian. Humam menjawab bahwa ia telah meninggalkan seluruh dunianya yang lama dan memutuskan untuk menyendiri di rumah itu. Ia tidak membutuhkan siapa-siapa untuk hidup. Begitulah pikiran Humam yang membuat Barman semakin tertarik dengan kisahnya dan penasaran.
            Semenjak saat itu, mereka menjadi teman akrab dan sering pergi bersama. Barman masih tidak mengerti dengan jalan hidup yang diambil Humam. Apakah itu adalah jalan ketenangan yang diinginkannya atau bukan. Barman meminta Bobi untuk mengiriminya kuda putih kesayangannya. Ia akan pergi ke rumah Humam dengan menunggangi kuda. Ketika Barman datang berkunjung ke rumah Humam, ia mendapati kawannya itu telah terbujur kaku. Ia merasa kehilangan dan tak tahu harus berbuat apa. Ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang banyak orang yaitu di pasar. Ia memberitahukan kepada orang-orang bahwa ada orang yang mati. Barman tidak mengatakan dengan jelas siapa yang mati. Ia menuntun masyarakat ke rumah Humam tanpa berkata apapun. Dan orang-orang berbondong-bondong mengikuti Barman. Mereka penasaran tentang siapa yang telah mati.
            Barman merasa sangat kehilangan Humam. Ia banyak mengambil pelajaran dari hidup Humam. Meninggalkan keluarga untuk hidup sebatang kara. Pada suatu malam, ia membawa pikirannya yang kalut itu berjalan-jalan ke pasar. Ia melihat orang-orang tertidur dengan pulas. Ia membangunkan meraka satu persatu dan bertanya pada setiap orang. “Apa kalian bahagia?” begitulah pertanyaan yang ditujukan kepada setiap orang. Orang-orang terbangun dan penasaran dengan sikap Barman. Mereka mengikuti Barman kemana-mana. Namun, mereka tak berani bertanya padanya. Mereka terus mengikuti Barman sampai ke pondok Humam yang kini di tempati Barman. Mereka tetap menanti penjelasan dari Barman.
            Barman bertanya apa yang diinginkan orang-orang itu. Mereka meminta penjelasan. Mereka berkata bahwa hidup mereka menderita. Apa yang sebaiknya mereka kerjakan. Mereka seakan-akan telah menjadi prajurit Barman. Kemanapun Barman pergi, mereka berbondong-bondong mengikutinya seakan-akan mereka adalah pengawal Barman.
            Suatu pagi, Barman mengajak mereka untuk mendaki ke puncak bukit. Di sana Barman akan menerangkan sesuatu tentang hidup dan kebahagiaan. Mereka mengikutinya. Sampai di puncak bukit, Barman menyampaikan khotbahnya. Ia berkata “Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan. Bunuhlah dirimu!”
            Seketika itu juga para rombongan tidak melihat Barman dan kuda putihnya. Mereka menyapukan pandangan ke dasar jurang. Alangkah sedihnya, mereka melihat Barman telah mati. Barman mengakhiri hidunya dengan menjatuhkan diri ke jurang. Mereka begitu terpukul, lalu menguburkan mayat Barman dengan semestinya. Mereka menganggap kematian Barman adalah sebuah pembebasan yang akan selalu terkenang. Tak ada lagi kebahagiaan. Tak ada lagi kesedihan. Tak ada lagi penderitaan. Tak ada masa lampau atau masa depan. Yang ada hanya hidup masa kini. Mereka kembali menjalankan rutinitas mereka di pasar seperti sedia kala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar