Rabu, 17 April 2013

Short Story one


Kado Ulang Tahun

                Sehabis pulang sekolah, aku buru-buru pulang ke rumah. Dengan mengendari sepeda baru hadiah ulang tahun dari ayahku seminggu yang lalu, aku melesat menyusuri jalanan di sebuah gang. Di perjalanan, aku melihat teman-temanku yang dijemput sopir mereka dengan mengendarai mobil mewah. Kami saling menyapa dan melambaikan tangan. Kadang  bila  temanku tidak terburu-buru, dia akan mengantarku pulang. Karena arah rumah kami berbeda, maka dia tak bisa sering-sering mengantarku.
Aku menikmati ayunan kakiku mengayuh sepeda. Rasanya lebih ringan pulang  sekolah menggunakan sepeda daripada berjalan kaki. Ya, sebelum aku memiliki sepeda ini aku harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer untuk sampai di sekolah. Saat aku genap berusia 12 tahun, ayah membelikanku sepeda yang sejak dulu aku inginkan.  Ayah mengetahui keinginanku bahwa suatu hari nanti aku ingin menjadi pembalap sepeda terkenal. Dengan sepeda ini menunjukkan bahwa ayah telah mendukungku.
Tiba di rumah aku menyandarkan sepedaku pada sebuah pohon, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Aku menuju dapur dan menemukan ibuku yang sedang sibuk membuat kue. Hari ini ibuku mendapat pesanan kue yang sangat banyak. Dan aku berniat untuk membantu ibu. Ini sebagai ungkapan terimakasihku karena aku telah dibelikan sepeda oleh ayah. Memang, biasanya aku sangat malas bila disuruh membantu orang tuaku.
Seusai membuat kue, ibu menyuruhku untuk mengantarkannya kepada pelanggan. Aku bergegas membawa kue-kue tersebut. Aku berencana untuk pergi dengan menaiki sepeda. Namun ibuku melarangnya karena jarak yang ditempuh cukup jauh dan harus melintasi jalan raya yang banyak mobil besar berlalu-lalang. Ibu menyuruhku untuk naik angkot. Namun aku tetap kukuh membawa sepedaku. Dan akhirnya ibu membiarkanku pergi.
Aku mengayuh sepedaku dengan santai, melewati gang-gang sempit. Aku melihat anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan. Mereka terlihat gembira sekali, seperti aku yang gembira karena telah memiliki sepeda baru. Aku mengkhayal, suatu hari nanti aku akan menjadi atlet balap sepeda yang terkenal. Saat bertanding aku akan mengayuh sepedaku sekencang-kencangnya hingga aku menjadi yang terdepan dan meraih juara, yang tentunya akan mengharumkan nama bangsa.
Tak disangka aku sudah menyusuri jalanan kota. Ramai sekali. Mobil-mobil seolah-olah saling mengejar. Aku juga ingin mengejar mobil-mobil itu. Aku berpikir, jika ingin menjadi pembalap sepeda profesional, aku harus berlatih adu kecepatan dengan sesuatu yang mampu bergerak lebih cepat.
Ku pilih satu mobil untuk jadi acuanku. Lalu aku mulai mengejar mobil itu. Tak ada yang kufikirkan selain balapan dengan mobil. Aku terus melaju di belakang mobil berwarna putih mengkilap tersebut. Aku tak mempedulikan kue-kue yang ku angkut. Sepertinya kantung plastik yang membungkus kue-kue itu telah rusak dan satu per satu kue-kue yang ku bawa berjatuhan di jalan. Aku juga telah melewati rumah pelanggan kue ibuku. Namun aku menghiraukannya dan masih mengebut di jalan mengejar mobil.
Pikiranku semakin tak fokus pada tugasku. Aku tenggelam dalam imajinasiku yang sedang mengikuti balapan sepeda. Aku melihat mobil di depanku mulai mengurangi kecepatannya. Aku semakin berharap untuk menang. Ku tambah kecepatanku dengan mengayuh sepeda semakin kencang. Mobil itu berhenti, dan aku terus memandangi mobil itu hingga aku tak memperhatikan jalan di depanku. Rasanya aku sudah memenangkan balapan ini. Aku melambaikan tangan pada mobil tersebut. Orang-orang di sekitar jalan raya memandangiku dan meneriakiku. Aku merasa mereka sedang memberiku semangat karena aku telah berhasil menjadi juara. Aku bangga sekali dan semakin terbuai dalam imajinasiku. Hingga aku tak menyadari sebuah truk besar bersiap-siap menabrakku.
Aku terkulai, lemah tak berdaya di jalan perempatan lampu merah. Keringat bercampur darah bercucuran dari keningku. Aku masih bisa menatap langit dan merasakan hembusan angin yang terasa begitu panas. Ku palingkan wajahku ke sisi jalan. Di sana aku melihat kue yang berceceran dan sepedaku remuk tak berbentuk. Aku telah merusakkan kado ulang tahun yang sangat ku idam-idamkan dari dulu. Dan aku sudah menghancurkan kue pesanan pelanggan ibu. Pikiranku amat kacau. Beranikah aku pulang ke rumah setelah  mengacaukan semuanya. Mataku terpejam dan pikiranku kosong. Rasanya lelah sekali.
Ketika aku membuka mata, di sekelilingku berdiri banyak orang yang memandangku dengan wajah iba. Aku memandang sekeliling. “Dimana ini, Bu?” aku bertanya pada ibuku. “Ini rumah sakit, Nak?” kata ibu. “Beristirahatlah, Nak?” lanjut ibu.
Aku menggerakkan tubuhku yang terasa pegal dan ingin mengatur posisi tidurku agar lebih nyaman. Aku merasa kakiku sangat berat dan sulit digerakkan. “Kaki    Rio kenapa, Bu?” tanyaku. Ibu hanya menangis. Sementara, ayah mendekatiku dan berkata dengan pelan, “Nak, mulai sekarang kamu tidak akan bisa mengayuh sepeda lagi.” “Apa sepeda Rio rusak parah? Ayah pasti bersedia membelikan sepeda untuk Rio lagi kan, Yah?” pintaku. Ayahku juga ikut menangis. “Kalau ayah tidak punya uang, tidak apa-apa. Kita bisa memperbaiki sepeda yang sudah rusak kok,” imbuhku.
“Kata dokter, kak Rio kan kakinya cacat. Mana bisa naik sepeda. Paling bisanya Cuma naik kursi roda.” Adikku yang berusia 6 tahun tiba-tiba bergumam sendiri. “Aku cacat,” batinku. Khayalanku untuk menjadi pembalap profesional tak kan bisa terwujud. Orang-orang yang menungguiku menangis. Aku pun sempat meneteskan air mata sebelum aku kembali terlelap tidur.
Kini hari-hariku selalu didampingi oleh kursi roda atau tongkat untuk membantuku berjalan. Di sekolah, aku hanya menghabiskan waktu di kelas. Kalau merasa bosan aku akan pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Dulu aku membenci buku-buku. Tapi sekarang aku gemar membaca buku dan buku adalah teman setiaku. Aku juga mulai menulis. Apapun yang ada di pikiranku selalu ku ungkapkan lewat tulisan. Ayah sering memantau aktifitasku. Dan ayah mengetahui kegemaranku saat ini. Pada ulang tahunku berikutnya, ia memberiku sebuah netbook mungil. Aku semakin semangat untuk menulis dan mulai berimajinasi menjadi penulis terkenal. Aku memang telah kehilangan satu kaki. Tapi aku masih punya tangan. Suatu hari nanti aku akan menghasilkan karya-karya besar lewat tangan indahku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar