Kado
Ulang Tahun
Sehabis pulang sekolah, aku
buru-buru pulang ke rumah. Dengan mengendari sepeda baru hadiah ulang tahun
dari ayahku seminggu yang lalu, aku melesat menyusuri jalanan di sebuah gang.
Di perjalanan, aku melihat teman-temanku yang dijemput sopir mereka dengan
mengendarai mobil mewah. Kami saling menyapa dan melambaikan tangan. Kadang bila
temanku tidak terburu-buru, dia akan mengantarku pulang. Karena arah
rumah kami berbeda, maka dia tak bisa sering-sering mengantarku.
Aku menikmati ayunan kakiku mengayuh
sepeda. Rasanya lebih ringan pulang
sekolah menggunakan sepeda daripada berjalan kaki. Ya, sebelum aku
memiliki sepeda ini aku harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer untuk sampai di
sekolah. Saat aku genap berusia 12 tahun, ayah membelikanku sepeda yang sejak
dulu aku inginkan. Ayah mengetahui
keinginanku bahwa suatu hari nanti aku ingin menjadi pembalap sepeda terkenal. Dengan
sepeda ini menunjukkan bahwa ayah telah mendukungku.
Tiba di rumah aku menyandarkan sepedaku
pada sebuah pohon, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Aku menuju dapur dan
menemukan ibuku yang sedang sibuk membuat kue. Hari ini ibuku mendapat pesanan
kue yang sangat banyak. Dan aku berniat untuk membantu ibu. Ini sebagai
ungkapan terimakasihku karena aku telah dibelikan sepeda oleh ayah. Memang,
biasanya aku sangat malas bila disuruh membantu orang tuaku.
Seusai membuat kue, ibu menyuruhku untuk
mengantarkannya kepada pelanggan. Aku bergegas membawa kue-kue tersebut. Aku
berencana untuk pergi dengan menaiki sepeda. Namun ibuku melarangnya karena
jarak yang ditempuh cukup jauh dan harus melintasi jalan raya yang banyak mobil
besar berlalu-lalang. Ibu menyuruhku untuk naik angkot. Namun aku tetap kukuh
membawa sepedaku. Dan akhirnya ibu membiarkanku pergi.
Aku mengayuh sepedaku dengan santai,
melewati gang-gang sempit. Aku melihat anak-anak yang sedang bermain bola di
lapangan. Mereka terlihat gembira sekali, seperti aku yang gembira karena telah
memiliki sepeda baru. Aku mengkhayal, suatu hari nanti aku akan menjadi atlet
balap sepeda yang terkenal. Saat bertanding aku akan mengayuh sepedaku
sekencang-kencangnya hingga aku menjadi yang terdepan dan meraih juara, yang
tentunya akan mengharumkan nama bangsa.
Tak disangka aku sudah menyusuri jalanan
kota. Ramai sekali. Mobil-mobil seolah-olah saling mengejar. Aku juga ingin
mengejar mobil-mobil itu. Aku berpikir, jika ingin menjadi pembalap sepeda
profesional, aku harus berlatih adu kecepatan dengan sesuatu yang mampu bergerak
lebih cepat.
Ku pilih satu mobil untuk jadi acuanku.
Lalu aku mulai mengejar mobil itu. Tak ada yang kufikirkan selain balapan
dengan mobil. Aku terus melaju di belakang mobil berwarna putih mengkilap
tersebut. Aku tak mempedulikan kue-kue yang ku angkut. Sepertinya kantung
plastik yang membungkus kue-kue itu telah rusak dan satu per satu kue-kue yang
ku bawa berjatuhan di jalan. Aku juga telah melewati rumah pelanggan kue ibuku.
Namun aku menghiraukannya dan masih mengebut di jalan mengejar mobil.
Pikiranku semakin tak fokus pada tugasku.
Aku tenggelam dalam imajinasiku yang sedang mengikuti balapan sepeda. Aku
melihat mobil di depanku mulai mengurangi kecepatannya. Aku semakin berharap
untuk menang. Ku tambah kecepatanku dengan mengayuh sepeda semakin kencang.
Mobil itu berhenti, dan aku terus memandangi mobil itu hingga aku tak
memperhatikan jalan di depanku. Rasanya aku sudah memenangkan balapan ini. Aku
melambaikan tangan pada mobil tersebut. Orang-orang di sekitar jalan raya
memandangiku dan meneriakiku. Aku merasa mereka sedang memberiku semangat karena
aku telah berhasil menjadi juara. Aku bangga sekali dan semakin terbuai dalam
imajinasiku. Hingga aku tak menyadari sebuah truk besar bersiap-siap
menabrakku.
Aku terkulai, lemah tak berdaya di jalan perempatan
lampu merah. Keringat bercampur darah bercucuran dari keningku. Aku masih bisa
menatap langit dan merasakan hembusan angin yang terasa begitu panas. Ku
palingkan wajahku ke sisi jalan. Di sana aku melihat kue yang berceceran dan
sepedaku remuk tak berbentuk. Aku telah merusakkan kado ulang tahun yang sangat
ku idam-idamkan dari dulu. Dan aku sudah menghancurkan kue pesanan pelanggan
ibu. Pikiranku amat kacau. Beranikah aku pulang ke rumah setelah mengacaukan semuanya. Mataku terpejam dan
pikiranku kosong. Rasanya lelah sekali.
Ketika aku membuka mata, di sekelilingku
berdiri banyak orang yang memandangku dengan wajah iba. Aku memandang
sekeliling. “Dimana ini, Bu?” aku bertanya pada ibuku. “Ini rumah sakit, Nak?”
kata ibu. “Beristirahatlah, Nak?” lanjut ibu.
Aku menggerakkan tubuhku yang terasa pegal
dan ingin mengatur posisi tidurku agar lebih nyaman. Aku merasa kakiku sangat
berat dan sulit digerakkan. “Kaki Rio
kenapa, Bu?” tanyaku. Ibu hanya menangis. Sementara, ayah mendekatiku dan
berkata dengan pelan, “Nak, mulai sekarang kamu tidak akan bisa mengayuh sepeda
lagi.” “Apa sepeda Rio rusak parah? Ayah pasti bersedia membelikan sepeda untuk
Rio lagi kan, Yah?” pintaku. Ayahku juga ikut menangis. “Kalau ayah tidak punya
uang, tidak apa-apa. Kita bisa memperbaiki sepeda yang sudah rusak kok,” imbuhku.
“Kata dokter, kak Rio kan kakinya cacat.
Mana bisa naik sepeda. Paling bisanya Cuma naik kursi roda.” Adikku yang
berusia 6 tahun tiba-tiba bergumam sendiri. “Aku cacat,” batinku.
Khayalanku untuk menjadi pembalap profesional tak kan bisa terwujud. Orang-orang
yang menungguiku menangis. Aku pun sempat meneteskan air mata sebelum aku
kembali terlelap tidur.
Kini hari-hariku selalu didampingi oleh
kursi roda atau tongkat untuk membantuku berjalan. Di sekolah, aku hanya
menghabiskan waktu di kelas. Kalau merasa bosan aku akan pergi ke perpustakaan
untuk membaca buku. Dulu aku membenci buku-buku. Tapi sekarang aku gemar
membaca buku dan buku adalah teman setiaku. Aku juga mulai menulis. Apapun yang
ada di pikiranku selalu ku ungkapkan lewat tulisan. Ayah sering memantau
aktifitasku. Dan ayah mengetahui kegemaranku saat ini. Pada ulang tahunku
berikutnya, ia memberiku sebuah netbook mungil. Aku semakin semangat untuk
menulis dan mulai berimajinasi menjadi penulis terkenal. Aku memang telah
kehilangan satu kaki. Tapi aku masih punya tangan. Suatu hari nanti aku akan
menghasilkan karya-karya besar lewat tangan indahku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar