Sabtu, 20 April 2013

MUTIARA KATA


Disney Words

Here I am with you, what could be more right? –Pooh
Think of all the joy you’ll find when you leave the world behind and bid your cares goodbye. –Peter Pan
I'm like a shooting star, I've come so far. I can't go back to where I used to be. –Jasmine (Aladdin)
When destiny calls you, you must be strong. –Kala (Tarzan Broadway)
I'll be there someday. I can go the distance. I will find my way if I can be strong. –Hercules
Everybody wants to live happily ever after. Everybody wants to know their true love is true. –Giselle (Enchanted)
Do not fear death, but rather the unlived life. You don't have to live forever. You just have to live. –Tuck (Tuck Everlasting)
Love is beautiful. Love is wonderful. Love is everything. Do you agree? –Ray (Princess and the Frog)
Prayer not only is a supplication for strength and guidance, but also becomes an affirmation of life. –Walt Disney
Strangers are the most interesting people to talk to. –Pleakley (Lilo & Stitch Series)
When life gets confusing, there's a certain place I know, filled with wishes and my favourite things. –Ariel (Little Mermaid Series)
Forever is a long, long time, and time has a way of changing things. –Big Mama (Fox and The Hound)
I always like to look on the optimistic side of life, but I am realistic enough to know that life is a complex matter. –Walt Disney
For every problem, there's a solution. –Mrs.Potts (Belle's Magical World)
The way to get started is to quit talking and begin doing. –Walt Disney
I've always dreamed that my life could be like a fairy tale, a perfect fantasy. –Cinderella (Cinderella 3)
Faith makes things turn out right. –Penny (The Rescuers)
Don't spend your time looking around for something you want that can't be found. –Baloo (The Jungle Book)
Dreams connect us even when we're far apart because dreams come from inside your heart. –Ariel (Little Mermaid Series)
In real life, you don't need a Prince Charming. You just need someone who loves you to spend the rest of your life with.
Dare if you want to. Don't fear you'll fall. Take a chance 'cause it's better than never to chance it at all. –Cinderella II
Life's a happy song when there's someone by your side to sing along. –Gary (The Muppets)
You can't always sit in your corner of the forest and wait for people to come to you. You have to go to them sometimes. –Owl”
With every ending comes a new beginning. –Kala (Tarzan Broadway)
Words will never hurt you, unless they are carved into stone and thrown at you. –Pleakey (Lilo & Stitch Series)”
We can't change who we are, and the sooner you accept that the better off your game and your life will be. –Clyde (Wreck-It Ralph)
If we take the time, time to understand each other, we can learn to make it right. –Sebastian (Little Mermaid II)
Though the journey takes us far, our love has found a place to stay if we believe. –Pocahontas (Pocahontas II)
Can you sing with all the voices of the mountains? Can you paint with all the colors of the wind? –Pocahontas
You got someone you think you know well. It turns out a stranger. The minute you turn your back, you're in it all by yourself. –Toy Story
When you believe in a thing, believe in it all the way, implicitly and unquestionable. –Walt Disney



Kamis, 18 April 2013

Sinopsis Novel dua


Khotbah di Atas Bukit
Karya Kuntowijoyo

            Barman adalah seorang pensiunan diplomat yang kesehariannya hidup bersama anaknya yang bernama Bobi, dan Dosi menantunya, serta cucu-cucunya. Istrinya meninggal sejak Bobi masih kecil. Ia tidak tega untuk memberi Bobi ibu tiri. Maka selama ditinggal istrinya, ia tidak pernah menikah lagi. Meskipun begitu, nalurinya sebagai lelaki memaksanya untuk menyukai wanita lain. Dalam perantauannya di negara asing, ia sering mengencani para wanita. Bobi pernah memergokinya sedang berduaan dengan wanita lain. Barman hanya mengatakan kepada Bobi agar menganggap wanita itu sebagai ibunya.
            Kini Barman telah menjadi kakek-kakek tua yang lemah. Setiap hari ia menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan menyusuri perkotaan atau bermain-main dengan cucu-cucunya. Suatu hari, Bobi menyarankan Barman agar tinggal di villanya yang ada di bukit dan menghabiskan sisa hidupnya disana. Bobi ingin ayahnya meninggalkan segala pikiran tentang dunia dan hidup bahagia di bukit tanpa membawa beban. Bobi sangat tahu selera ayahnya. Ia juga mengenalkan ayahnya kepada seorang wanita bernama Popi untuk menemani ayahnya di bukit. Barman sangat menyukai Popi yang cantik dan masih muda. Barman akhirnya menyetujui usulan Bobi, dan ia pindah ke bukit bersama Popi.
            Di bukit, Barman memulai hidupnya yang baru bersama Popi, kekasih hatinya. Ia hanya perlu bersenang-senang dan menikmati masa tuanya. Melupakan segala pikiran yang ada di kota yang menganggunya selama ini. Popi yang masih muda itu telah memutuskan untuk bersedia melayani Barman dan mendampinginya. Barman sangat senang dengan kehadiran Popi disampingnya yang mampu memberi kehangatan dan kenyamanan.
            Kehidupan mereka di bukit berjalan dengan sebagaimana mestinya. Kehidupan yang tanpa beban. Popi rajin mengerjakan tugas di dapur dan melayani Barman. Jika mereka kekurangan bahan makanan atau membutuhkan sesuatu, mereka tinggal menelepon Bobi dan selanjutnya sopir akan segera mengirim barang-barang yang mereka butuhkan. Begitu seterusnya.
            Barman suka menghabiskan waktu di luar rumah menikmati pemandangan yang terbentang di atas bukit. Suatu ketika ia pamit untuk mendaki ke puncak bukit. Popi sudah melarangnya dan meminta Barman agar tidak berinteraksi dengan lingkungn luar. Barman harus menjaga kesehatan tubuhnya. Namun, Barman tetap kukuh untuk melakukan pendakian.
            Di perjalaanan, ia kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah rumah yang tak berpenghuni dan menumpang istirahat di sana. Ia tertidur. Beberapa saat kemudian ia terbangun dan melihat makanan yang tertata di meja. Ia bertemu dengan seseorang. Humam namanya. Pemilik rumah yang disinggahi oleh Barman. Mereka berkenalan dan Humam menyuruh Barman agar memakan makanan yang telah disiapkan. Barman bertanya apakah Humam tinggal di rumah itu sendirian. Humam menjawab bahwa ia telah meninggalkan seluruh dunianya yang lama dan memutuskan untuk menyendiri di rumah itu. Ia tidak membutuhkan siapa-siapa untuk hidup. Begitulah pikiran Humam yang membuat Barman semakin tertarik dengan kisahnya dan penasaran.
            Semenjak saat itu, mereka menjadi teman akrab dan sering pergi bersama. Barman masih tidak mengerti dengan jalan hidup yang diambil Humam. Apakah itu adalah jalan ketenangan yang diinginkannya atau bukan. Barman meminta Bobi untuk mengiriminya kuda putih kesayangannya. Ia akan pergi ke rumah Humam dengan menunggangi kuda. Ketika Barman datang berkunjung ke rumah Humam, ia mendapati kawannya itu telah terbujur kaku. Ia merasa kehilangan dan tak tahu harus berbuat apa. Ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang banyak orang yaitu di pasar. Ia memberitahukan kepada orang-orang bahwa ada orang yang mati. Barman tidak mengatakan dengan jelas siapa yang mati. Ia menuntun masyarakat ke rumah Humam tanpa berkata apapun. Dan orang-orang berbondong-bondong mengikuti Barman. Mereka penasaran tentang siapa yang telah mati.
            Barman merasa sangat kehilangan Humam. Ia banyak mengambil pelajaran dari hidup Humam. Meninggalkan keluarga untuk hidup sebatang kara. Pada suatu malam, ia membawa pikirannya yang kalut itu berjalan-jalan ke pasar. Ia melihat orang-orang tertidur dengan pulas. Ia membangunkan meraka satu persatu dan bertanya pada setiap orang. “Apa kalian bahagia?” begitulah pertanyaan yang ditujukan kepada setiap orang. Orang-orang terbangun dan penasaran dengan sikap Barman. Mereka mengikuti Barman kemana-mana. Namun, mereka tak berani bertanya padanya. Mereka terus mengikuti Barman sampai ke pondok Humam yang kini di tempati Barman. Mereka tetap menanti penjelasan dari Barman.
            Barman bertanya apa yang diinginkan orang-orang itu. Mereka meminta penjelasan. Mereka berkata bahwa hidup mereka menderita. Apa yang sebaiknya mereka kerjakan. Mereka seakan-akan telah menjadi prajurit Barman. Kemanapun Barman pergi, mereka berbondong-bondong mengikutinya seakan-akan mereka adalah pengawal Barman.
            Suatu pagi, Barman mengajak mereka untuk mendaki ke puncak bukit. Di sana Barman akan menerangkan sesuatu tentang hidup dan kebahagiaan. Mereka mengikutinya. Sampai di puncak bukit, Barman menyampaikan khotbahnya. Ia berkata “Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan. Bunuhlah dirimu!”
            Seketika itu juga para rombongan tidak melihat Barman dan kuda putihnya. Mereka menyapukan pandangan ke dasar jurang. Alangkah sedihnya, mereka melihat Barman telah mati. Barman mengakhiri hidunya dengan menjatuhkan diri ke jurang. Mereka begitu terpukul, lalu menguburkan mayat Barman dengan semestinya. Mereka menganggap kematian Barman adalah sebuah pembebasan yang akan selalu terkenang. Tak ada lagi kebahagiaan. Tak ada lagi kesedihan. Tak ada lagi penderitaan. Tak ada masa lampau atau masa depan. Yang ada hanya hidup masa kini. Mereka kembali menjalankan rutinitas mereka di pasar seperti sedia kala.

Sinopsis Novel satu


Saksi Bisu 
Karya Agatha Christie 
 
Nona Emily Arundell tinggal di Market Basing di sebuah rumah besar warisan ayahnya, John Laverton Arundell, yang diberi nama “Puri Hijau”. Ia tinggal bersama para pelayannya, yaitu Nona Wilhelmina Lawson dan Ellen serta anjing setianya, Bob. Diusianya yang hampir 80 tahun, nona Emily Arundell belum menikah. Ia pun sama sekali tidak tertarik dengan pernikahan seperti kedua saudaranya yang lain yang tidak menikah sepanjang hidupnya.
Ayah Nona Emily, John Arundell, memiliki lima orang anak, yaitu Thomas, Arabella, Mathilda, Agnes, dan Emily. Hanya dua anaknya yang menikah. John Arundell dan keempat anaknya sudah lama meninggal. Ia memilki cucu dari Thomas Arundell, bernama Charles dan Theresa Arundell serta cucu dari Arabella bernama Bella Arundell. Ia memiliki kekayaan yang sangat melimpah, dan kekayaannya itu diwariskan kepada Nona Emily. Menginjak usia yang semakin tua dan sering sakit-sakitan, keponakan Nona Emily berlomba-lomba untuk mewarisi harta kekayaan bibinya tersebut.
Ketika liburan Paskah, ketiga keponakan Nona Emily beserta Dr.Tanios, suami Bella Arundell, datang mengunjunginya. Tujuan mereka adalah ingin meminta warisan. Nona Emily adalah orang yang cerdas. Ia sangat khawatir apabila harta peninggalannya nanti akan dihambur-hamburkan keponakannya, mengingat kehidupan keponakannya penuh dengan hura-hura dan kemewahan.
Salah satu keponakannya berniat untuk membunuh Nona Emily agar semakin cepat mendapat warisan. Suatu malam, ketika keponakannya masih menginap di rumahnya, Nona Emily jatuh dari tangga. Orang-orang mengira bahwa kecelakaan itu disebabkan karena Nona Emily tersandung bola Bob. Namun, Nona Emily yang cerdas tidak berpikir seperti itu. Ada hal lain yang membuatnya terjatuh. Dan ia tidak bisa menyelidiki lebih jauh karena akibat kecelakaan itu, ia harus terbaring di tempat tidurnya meskipun cedera yang dialaminya tidak begitu parah. Ia memutuskan untuk meminta bantuan seorang detektif untuk menyelidiki kecelakaan yang menimpanya. Ia mulai menulis surat kepada detektif yang bernama Tn. Hercules Poirot.
Selang beberapa minggu Nona Emily meninggal dunia. Dan alangkah terkejutnya para keponakannya saat mereka tahu bahwa harta bibinya, seluruhnya diwariskan kepada pelayan wanitanya yang bernama Nona Lawson. Hal ini tentu saja membuat mereka kecewa termasuk salah satu keponakan yang merencakan pembunuhan tersebut.
Banyak orang menganggap bahwa kematian Nona Emily sangat wajar. Namun, tidak begitu dengan Poirot. Setelah menerima surat dari Emily Arundell, ia merasa kematian Nona Emily telah direncanakan seseorang. Sebagai seorang detektif, ia harus mengungkap permasalahan dari kliennya itu. Bersama temannya, tuan Hastings, ia mulai melakukan penyelidikan.
Pertama, Poirot dan rekannya berkunjung ke Puri Hijau. Di sana ia bertemu dengan pelayan bernama Nona Ellen. Ia mendapat keterangan begitu banyak dari Ellen. Poirot mendatangi dokter pribadi Nona Emily. Dokter itu mengatakan, kematian Nona Emily wajar-wajar saja dan tidak ditemukan tanda-tanda keracunan. Dari kesaksian Nona Lawson, yang menyaksikan detik-detik terakhir Nona Emily sebelum meninggal, ia mengungkapkan bahwa ketika berbicara, dari mulut Nona Emily keluar asap.
Penyelidikan berlanjut kepada ketiga keponakan Nona Emily. Theresa dan Charles mengatakan bahwa memang benar ia sangat menginginkan harta bibinya. Tapi ia takkan tega meracuni bibinya hingga meninggal. Selanjutnya pengakuan dari Bella Arundell, yang menyatakan bahwa ia sama sekali tidak tahu apa-apa soal kematian bibinya. Ia merasa ditekan oleh suaminya. Hal itu membuat hidupnya kurang tenang dan menjadi orang yang ambisius.
Setelah melakukan berbagai penyelidikan dan mendapat informasi dari berbagai sumber, Poirot akhirnya berhasil memecahkan kasus kematian Nona Emily. Ia menyimpulkan bahwa keponakannya, Bella Arundell yang telah mengatur pembunuhannya. Motifnya adalah ia ingin menguasai harta Nona Emily agar ia bisa membalas dendam terhadap suaminya sendiri. Ia sangat tertekan hidup bersama suaminya yang telah menghabiskan harta warisan dari ayahnya.
Akhirnya sengketa warisan diantara mereka terselesaikan. Bella Arundell memilih bunuh diri pasca terbongkarnya kejahatan yang ia lakukan. Sementara itu, harta warisan dari Nona Emily dibagi kembali kepada Theresa, Charles, kedua anak Bella, dan Nona Lawson.

Rabu, 17 April 2013

My Diary one . . . !!!

Short Story one


Kado Ulang Tahun

                Sehabis pulang sekolah, aku buru-buru pulang ke rumah. Dengan mengendari sepeda baru hadiah ulang tahun dari ayahku seminggu yang lalu, aku melesat menyusuri jalanan di sebuah gang. Di perjalanan, aku melihat teman-temanku yang dijemput sopir mereka dengan mengendarai mobil mewah. Kami saling menyapa dan melambaikan tangan. Kadang  bila  temanku tidak terburu-buru, dia akan mengantarku pulang. Karena arah rumah kami berbeda, maka dia tak bisa sering-sering mengantarku.
Aku menikmati ayunan kakiku mengayuh sepeda. Rasanya lebih ringan pulang  sekolah menggunakan sepeda daripada berjalan kaki. Ya, sebelum aku memiliki sepeda ini aku harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer untuk sampai di sekolah. Saat aku genap berusia 12 tahun, ayah membelikanku sepeda yang sejak dulu aku inginkan.  Ayah mengetahui keinginanku bahwa suatu hari nanti aku ingin menjadi pembalap sepeda terkenal. Dengan sepeda ini menunjukkan bahwa ayah telah mendukungku.
Tiba di rumah aku menyandarkan sepedaku pada sebuah pohon, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Aku menuju dapur dan menemukan ibuku yang sedang sibuk membuat kue. Hari ini ibuku mendapat pesanan kue yang sangat banyak. Dan aku berniat untuk membantu ibu. Ini sebagai ungkapan terimakasihku karena aku telah dibelikan sepeda oleh ayah. Memang, biasanya aku sangat malas bila disuruh membantu orang tuaku.
Seusai membuat kue, ibu menyuruhku untuk mengantarkannya kepada pelanggan. Aku bergegas membawa kue-kue tersebut. Aku berencana untuk pergi dengan menaiki sepeda. Namun ibuku melarangnya karena jarak yang ditempuh cukup jauh dan harus melintasi jalan raya yang banyak mobil besar berlalu-lalang. Ibu menyuruhku untuk naik angkot. Namun aku tetap kukuh membawa sepedaku. Dan akhirnya ibu membiarkanku pergi.
Aku mengayuh sepedaku dengan santai, melewati gang-gang sempit. Aku melihat anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan. Mereka terlihat gembira sekali, seperti aku yang gembira karena telah memiliki sepeda baru. Aku mengkhayal, suatu hari nanti aku akan menjadi atlet balap sepeda yang terkenal. Saat bertanding aku akan mengayuh sepedaku sekencang-kencangnya hingga aku menjadi yang terdepan dan meraih juara, yang tentunya akan mengharumkan nama bangsa.
Tak disangka aku sudah menyusuri jalanan kota. Ramai sekali. Mobil-mobil seolah-olah saling mengejar. Aku juga ingin mengejar mobil-mobil itu. Aku berpikir, jika ingin menjadi pembalap sepeda profesional, aku harus berlatih adu kecepatan dengan sesuatu yang mampu bergerak lebih cepat.
Ku pilih satu mobil untuk jadi acuanku. Lalu aku mulai mengejar mobil itu. Tak ada yang kufikirkan selain balapan dengan mobil. Aku terus melaju di belakang mobil berwarna putih mengkilap tersebut. Aku tak mempedulikan kue-kue yang ku angkut. Sepertinya kantung plastik yang membungkus kue-kue itu telah rusak dan satu per satu kue-kue yang ku bawa berjatuhan di jalan. Aku juga telah melewati rumah pelanggan kue ibuku. Namun aku menghiraukannya dan masih mengebut di jalan mengejar mobil.
Pikiranku semakin tak fokus pada tugasku. Aku tenggelam dalam imajinasiku yang sedang mengikuti balapan sepeda. Aku melihat mobil di depanku mulai mengurangi kecepatannya. Aku semakin berharap untuk menang. Ku tambah kecepatanku dengan mengayuh sepeda semakin kencang. Mobil itu berhenti, dan aku terus memandangi mobil itu hingga aku tak memperhatikan jalan di depanku. Rasanya aku sudah memenangkan balapan ini. Aku melambaikan tangan pada mobil tersebut. Orang-orang di sekitar jalan raya memandangiku dan meneriakiku. Aku merasa mereka sedang memberiku semangat karena aku telah berhasil menjadi juara. Aku bangga sekali dan semakin terbuai dalam imajinasiku. Hingga aku tak menyadari sebuah truk besar bersiap-siap menabrakku.
Aku terkulai, lemah tak berdaya di jalan perempatan lampu merah. Keringat bercampur darah bercucuran dari keningku. Aku masih bisa menatap langit dan merasakan hembusan angin yang terasa begitu panas. Ku palingkan wajahku ke sisi jalan. Di sana aku melihat kue yang berceceran dan sepedaku remuk tak berbentuk. Aku telah merusakkan kado ulang tahun yang sangat ku idam-idamkan dari dulu. Dan aku sudah menghancurkan kue pesanan pelanggan ibu. Pikiranku amat kacau. Beranikah aku pulang ke rumah setelah  mengacaukan semuanya. Mataku terpejam dan pikiranku kosong. Rasanya lelah sekali.
Ketika aku membuka mata, di sekelilingku berdiri banyak orang yang memandangku dengan wajah iba. Aku memandang sekeliling. “Dimana ini, Bu?” aku bertanya pada ibuku. “Ini rumah sakit, Nak?” kata ibu. “Beristirahatlah, Nak?” lanjut ibu.
Aku menggerakkan tubuhku yang terasa pegal dan ingin mengatur posisi tidurku agar lebih nyaman. Aku merasa kakiku sangat berat dan sulit digerakkan. “Kaki    Rio kenapa, Bu?” tanyaku. Ibu hanya menangis. Sementara, ayah mendekatiku dan berkata dengan pelan, “Nak, mulai sekarang kamu tidak akan bisa mengayuh sepeda lagi.” “Apa sepeda Rio rusak parah? Ayah pasti bersedia membelikan sepeda untuk Rio lagi kan, Yah?” pintaku. Ayahku juga ikut menangis. “Kalau ayah tidak punya uang, tidak apa-apa. Kita bisa memperbaiki sepeda yang sudah rusak kok,” imbuhku.
“Kata dokter, kak Rio kan kakinya cacat. Mana bisa naik sepeda. Paling bisanya Cuma naik kursi roda.” Adikku yang berusia 6 tahun tiba-tiba bergumam sendiri. “Aku cacat,” batinku. Khayalanku untuk menjadi pembalap profesional tak kan bisa terwujud. Orang-orang yang menungguiku menangis. Aku pun sempat meneteskan air mata sebelum aku kembali terlelap tidur.
Kini hari-hariku selalu didampingi oleh kursi roda atau tongkat untuk membantuku berjalan. Di sekolah, aku hanya menghabiskan waktu di kelas. Kalau merasa bosan aku akan pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Dulu aku membenci buku-buku. Tapi sekarang aku gemar membaca buku dan buku adalah teman setiaku. Aku juga mulai menulis. Apapun yang ada di pikiranku selalu ku ungkapkan lewat tulisan. Ayah sering memantau aktifitasku. Dan ayah mengetahui kegemaranku saat ini. Pada ulang tahunku berikutnya, ia memberiku sebuah netbook mungil. Aku semakin semangat untuk menulis dan mulai berimajinasi menjadi penulis terkenal. Aku memang telah kehilangan satu kaki. Tapi aku masih punya tangan. Suatu hari nanti aku akan menghasilkan karya-karya besar lewat tangan indahku ini.